Wednesday, September 13, 2006

Tiga Hari di Klaten

Liputan di Klaten dimulai hari Senin (21/8) dengan tujuan awal screening di beberapa wilayah, mulai dari Wedi, Bayat, dan Cawas. Lebih kurang 1,5 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Desa Melikan, Kecamatan Wedi. Orang pertama yang kami temui ialah Nurdi Agus (39), Kepala Desa. Ia banyak menonjolkan keunggulan desanya dan kegiatan kesenian yang berlangsung disana. Setiap menceritakan keberhasilan Desa Melikan, tak lupa ia menonjolkan diri sebagai sang penggagas.

Setelah mendapat informasi awal, saya dan Rere mulai menelusuri Desa Pagerjurang untuk menanyai perajin. Tapi, sebelumnya, kami belajar untuk bergumul dengan gumpalan tanah liat. Bu Ros, perajin gerabah, mengarahkan dua orang perajin dadakan yang nyasar di Pagerjurang. Bukannya menciptakan master piece gerabah, hasilnya justru tangan kotor dan gumpalan tanah liat tak berbentuk.

Pekerjaan yang terlihat mudah dan sederhana ternyata sangat sulit dilakukan. Bu Ros Cuma terkekeh dan memberikan ceramah singkat tentang pembuatan gerabah. “Kalau buat gerabah, yang penting mata hati. Kalau membuat gerabah dengan pikiran kacau, hasilnya pasti jelek,” katanya.

Setelah itu, kami mencoba mencari Profesor Chitaru Kawasaki, yang sedang berada di Melikan. Kami berhasil menemuinya di Laboratorium Pusat Pelestarian Budaya dan Pengembangan Keramik Putaran Miring. Ia menyanggupi menerima kami pada hari Kamis pagi pukul 08.30 WIB.

Setelah itu, kami menjelajahi beberapa sentra kerajinan, seperti batik di Jarum dan genteng di Nambangan. Kami sempat tersasar sampai Sukoharjo saat mencari Nambangan, Cawas. Setelah mewawancarai perajin genteng, kami makan soto di Pasar Cawas. Saat membayar, kami terkejut dengan nominal yang disebut oleh si penjual, yaitu Rp 7 ribu untuk dua orang. Padahal, harga ini termasuk dua porsi soto, dua gelas jeruk hangat, kerupuk, dan dua bakwan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB saat kami menginjakkan kaki di Kota Klaten dan memutuskan untuk menginap di Perdana Raya, penginapan pertama yang kami temui. Penginapan ini cukup terawat, kamar yang disewakan pun bersih. Saya tidak tahu alasannya mengapa saya sulit tidur walaupun mata terasa sudah lelah dan mengantuk. Suasana kamar tersebut membuat perasaan saya tidak tenang dan merinding. Akhirnya, malam “pertama” di penginapan tersebut saya lalui dengan harapan pagi segera tiba.

Hari kedua (22/8) kami habiskan dengan mendatangi sumber-sumber dari pemerintah, seperti Kepala Disperindag dan Koperasi Kabupaten Klaten, Kepala Sub Dinas Penanaman Modal, dan Badan Pusat Statistik. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo untuk menemui Edi Wahyono, pakar keramik dan pengamat ekonomi, Mulyanto. Kami tiba kembali di penginapan sekitar pukul 20.00 WIB.

Keesokan harinya, pukul 07.15 WIB kami check out dari penginapan dan berangkat menuju Desa Melikan untuk menemui Profesor Kawasaki. Ternyata kami tiba lebih awal, pukul 08.00 WIB. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mencari dan memotret spanduk yang berisi ajakan agar masyarakat bangkit, seperti diberitahukan Mas Max Margono sehari sebelumnya.

Di Laboratorium Pelestarian Putaran Miring, Profesor Kawasaki dan rekannya sedang mempersiapkan pembakaran keramik. Karena suara di laboratorium yang sedang direnovasi tersebut sangat bising, maka obrolan dilangsungkan di rumah kontrakannya. Obrolan berlangsung cukup santai, walau harus didampingi oleh penerjemah karena Profesor Kawasaki tidak bisa berbahasa Indonesia dan Inggris.

Siangnya, kami mendatangi makam Sunan Padang Aran untuk mencari informasi mengenai Gentong Sinogo yang dikabarkan merupakan cikal bakal gerabah di Wedi dan Bayat. Karena lelah, akhirnya kami beristirahat selama 30 menit di kompleks makam salah seorang keturunan Sunan Padang Aran. Setelah itu, kami berkeliling mencari informasi tambahan dari pemilik gerai gerabah dan perajin gerabah. Malamnya saya menginap di rumah seorang perajin, Triono di Dusun Pagerjurang. Rumah mereka yang terbuat dari papan cukup sederhana, namun kehangatan terpancar dari keramahan dan ketulusan mereka.

Malam itu saya habiskan dengan bernicang sambil melihat mereka membuat poci pesanan. saya juga diajak untuk melihat proses pembakaran gerabah yang sudah memasuki tahap penghitaman. Setelah diajak makan malam, tanpa sadar sekitar pukul 22.30 WIB saya tertidur di ruang tamu, ditemani oleh putra kedua Pak Triono, Gunanto, hingga terbangun karena suara orang menyapu halaman pukul 05.30 WIB. Saya lantas mandi di sumur tetangga Pak Triono lantaran mereka tidak memiliki kamar mandi.

Pukul 09.00 WIB kami meninggalkan Desa Melikan dan pulang ke Yogyakarta. Sebelumnya, kami kembali ke Klaten untuk mengambil rangkuman potensi Kabupaten Klaten yang disiapkan oleh Sub Dinas Penanaman Modal. Setelah itu kami pulang ke Yogyakarta. Pukul 11.30 WIB, kami menemui Mudrajad Kuncoro, pengamat ekonomi dari UGM. (lee)

Yogyakarta, 26 Agustus 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home