Wednesday, September 13, 2006

Banjir Kebetulan di Magelang

Begitu tahu penugasan luar kota adalah ke Magelang, saya sedikit terkejut. Betapa tidak? Hari Jumat (18/8) pagi saya berpikir ingin pergi kota yang sejuk. Ternyata kesampaian.

Saat Titi bertanya siapa pasangan liputannya dan dijawab Mbak Agnes bahwa orang itu “nggak banget”, saya langsung berpikir kalau itu adalah saya. Benar saja, lima menit kemudian saya melihat nama kami berdua terpampang di kertas penugasan.

Senin (21/8) kami berdua pun mulai berpetualang, berbekal peta kami nekat merambah rimba Magelang. Sesampainya di Srumbung, rangkaian kebetulan itupun dimulai. Tiba-tiba saja kami naik angkot yang bahkan saat kami ditanya tujuan oleh supirnya, kami malah tergagap-gagap.

Akhirnya kami terlantar di Pasar Ngepos. Kami pun berniat menuju lokasi dengan berjalan kaki sembari melihat bibit sayur berusia 4-5 hari yang imut-imut dijual di pasar. Mendadak, datang sebuah truk pasir raksasa dengan kepulan debu yang serba ke mana-mana. Supir truk yang baik itu mengizinkan kami menumpang. Saat itu kami menyadari pentingnya arti outbond di Cisarua, Juli lalu.

Seperti kontestan acara Fear Factor, itulah yang kami rasakan saat terdampar di lautan batu dan kerikil di Kali Putih. Bagi saya, yang saya lihat hanya tiga: pasir, batu, dan Titi. Sejak di Kali Putih, sebenarnya saya sudah merasakan takut akan nuansa mistis yang bisa kami temui nanti.

Sore harinya, perasaan saya terwujud saat kami menginap di hotel yang berkesan angker. Lobi hotel yang gelap, ukiran-ukiran kuno, kamar bak gudang tua, dan lirikan mata lukisan penari bali sudah cukup membuat kami saling berjalan merapat. Saat itu kami mengutuk habis-habisan aturan hotel yang melarang laki-laki dan wanita non muhkrim bersama dalam satu kamar. Kami ketakutan, nih.

Malamnya, sambil mencari makan dan masker bengkoang untuk mendinginkan wajah yang tampak half-done, tiba-tiba kami melihat banyak truk lewat. Mereka membawa pasir basah, kontras dengan pasir Kali Putih yang kering kerontang. Begitu melihat ada truk nganggur, kami langsung mendatanginya dan bertemu dengan si supir. Ternyata pasir itu berasal dari Sungai Senowo. Sungai yang bahkan tidak masuk dalam daftar tujuan kami esok.

Selasa (22/8) kami bangun pagi-pagi, lalu berjalan ke perempatan sambil berharap ada truk lewat untuk ditumpangi. Ternyata kami malah bertemu kembali dengan supir semalam, namanya Triadi. Ada banyak supir truk pasir, tapi kenapa harus ketemu orang yang sama? Karena sudah saling kenal sebelumnya, pembicaraan pun menjadi lancar.

Memang tidak ada lagi kebetulan selama siang harinya, karena kami harus menghabiskan waktu dengan verifikasi data ke Pemda Kabupaten Magelang, yang jelas-jelas disengaja. Tapi setelah itu, sang kebetulan datang saat ada hotel yang mau menempatkan kami dalam satu kamar. Setelah check in, kami pergi mengunjungi Candi Lumbung, Candi Pendem, dan Candi Asu.

Sesampainya di Candi Lumbung, kami kebingungan tidak tahu caranya menyeberangi sungai Pabelan karena jembatannya runtuh. Secara tak terduga, muncul ibu tua, Kamiyem, yang menawarkan diri mengantar kami ke seberang. Kami mencoba bersikap ramah dengan mengajaknya bicara. Tapi Kamiyem hanya bisa berbahasa jawa, sedangkan kami? Bahasa kalbu. Percakapan itu pun kacau-balau.

Setelah puas melihat Candi Asu dan Candi Pendem, lagi-lagi kami bertemu Kamiyem yang sepertinya tadi sudah berpamitan pulang ke rumahnya. Kami pergi ke rumah Pak Narto, penjaga candi diantar Kamiyem. Benar-benar di luar rencana, karena saya pikir kami akan pergi ke kepala dusun.

Begitu banyak informasi yang diceritakan Pak Narto, hingga tak terasa malam pun tiba dan kami sadar kalau besar peluang harus berjalan kaki hingga entah di mana, mungkin sampai ke Muntilan.

Malam itu, setelah melewati sebuah jembatan yang tampak seram, saya tersandung dan mengucap “Astagfirullah aladzim” (ucapan dalam bahasa Hindunya lupa). Tiba-tiba saja, aliran air pancuran di sisi kiri kami berhenti begitu saja, senter Titi pun meredup.

“Bapa kami yang di surga...” ucap Titi spontan. Kami pun tetap berjalan...hanya saja lebih cepat.

Beruntung kami bertemu dengan seorang warga yang hendak mengantar ibunya yang telah berusia 120 tahun berobat ke Muntilan. Akhirnya kami bisa pulang dengan naik angkot sewaan. Saat itu, kami tahu kalau pancuran tadi mengalir dari kompleks pemakaman.

Rabu (23/8) kami senang karena akhirnya melihat isi dari Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), yang kami justru peroleh dari seorang kepala divisi perusahaan eksploitasi asal Yogya. Setelah itu, kami kembali ke kompleks tiga candi dan saling terpisah. Tepat saat saya mengunjungi Pak Narto, ia bersama anaknya akan membersihkan candi, jadi saya bisa mengamati keseharian beliau.

Kembali, kami berada di rumah Pak Narto hingga malam. Saat lapar, penyakit yang paling sering mendera kami di Magelang, Pak Narto menawarkan makan malam yang sangat enak. Menu desa a la kadarnya, dengan beras hasil sawah sendiri, sayur buncis dipetik dari kebun, dan telur dadar dari ternak entok milik Pak Narto, terasa nikmat di mulut.

Kami pun memutuskan untuk kembali ke Yogya malam itu juga. Ternyata tidak ada bus dari Semarang setelah jam sembilan malam, kalau ada itu pun harus menunggu lama sekali. Bermodal nekat karena terbiasa menumpang truk, kami pun mencoba memberhentikan beberapa kendaraan. Di saat tak terduga, ada sebuah mobil berplat AB yang hendak membeli buah di Pasar Giwangan. Malam itu, kami pulang dengan menumpang mobil itu sembari terkantuk-kantuk. (robin)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home