Wednesday, September 13, 2006

Semangat dari Klaten

Semangat dari Klaten

Ada beberapa hal saya rasakan selama tiga hari liputan luar kota ke Kabupaten Klaten, 21-23 Agustus. Kesederhanaan, ketulusan, dan semangat juang. Hal-hal itu saya dapat dari interaksi dengan penduduk di beberapa sentra industri di Klaten.

Sebelum berangkat, saya membayangkan penduduk yang sudah mulai berproduksi di sentra-sentra industri kecil. Apakah mereka masih mengeluhkan lambatnya bantuan pemerintah, bekerja seadanya, atau lebih antusias berproduksi. Saya ingin membagikan semangat mereka melalui tulisan yang saya buat nantinya.

Semangat juang

Senin (21/8) saya dan Anton mencari data bagaimana industri kecil di Kabupaten Klaten pada umumnya. Kami mendatangi sentra industri gerabah di Pagerjurang, Wedi, sentra industri batik di Jarum, Bayat, dan sentra industri genteng di Nambangan, Sukoharjo. Kami mendatangi pula sentra pengecoran logam di Ceper (22/8) dan sentra industri konveksi di Wedi (24/8).

Selama perjalanan ke sentra-sentra industri tersebut, ada beberapa perbincangan dengan narasumber yang berkesan. Satu yang paling berkesan adalah perbincangan dengan Hardi Trimanto (60), pemilik Merry Batik. Ia memproduksi berbagai kerajinan dari batik kayu, seperti topeng, sandal, hiasan dinding, dan berbagai peralatan rumah tangga.

Di usianya yang sudah tidak muda, Hardi masih memiliki semangat juang tinggi. Ia tidak putus asa dengan gempa yang menghancurkan sebagian rumah dan alat produksinya. Meski beberapa pekerjanya belum bisa bekerja karena sibuk membenahi rumah mereka, sesepuh Paguyuban para perajin batik Cipta Wening ini tetap berkarya memenuhi pesanan yang terus mengalir. Ia bahkan berkata, “Saya kasihan dengan para perajin yang sampai sekarang belum bekerja juga. Mau nunggu apa ? Kita hidup dari kerajinan yang kita buat, semakin berlarut-larut dalam kesedihan semakin lama kita hidup dalam kekurangan. Tidak bekerja ya berarti tidak ada pemasukan, hidup akan semakin sulit.”

Semangat juga ditunjukkan oleh perajin genteng Yanto Suwinto (50). Secara ekonomis, dari 1000 genteng yang dihasilkannya ia memperoleh Rp 40.000-50.000. Ia sempat dua bulan berhenti berproduksi karena tungku pembakaran hancur dan tenaga kerjanya sibuk dengan rumah masing-masing. Ia mencari pinjaman modal sendiri untuk meneruskan usahanya meski belum mencukupi untuk membeli tungku yang baru. Padahal, permintaan genteng saat ini naik karena maraknya rekonstruksi rumah.

Sederhana dan tulus

Dari beberapa daerah yang saya datangi, saya berada di Dusun Pagerjurang, Melikan, Wedi secara lebih intensif. Selama satu hari lebih di sana, kesederhanaan dan ketulusan penduduk terekam dalam ingatan.

Sebagian rumah perajin masih belantaikan tanah dan berdinding bambu. Di dalamnya, alat pembuat gerabah bersanding dengan alat-alat masak. Dari rumah yang sederhana ini, gerabah dan keramik yang sebagian sudah diekspor itu dihasilkan.

Selama semalam tidur di rumah Mbah Harjo (75), saya merasakan kesederhanaan dan ketulusan seorang perajin tua. Rabu (23/8) malam saya tidur beralaskan tikar di ruang tamu. TV 19 inchi baru yang tidak pernah dihidupkan, hadiah dari Chitaru Kawasaki (pendiri Laboratorium Pusat Pelestarian Budaya dan Pengembangan Keramik Tanah Miring di Pagerjurang), ada di kiri saya. Berpuluh-puluh teko yang masih basah di kanan saya. Sampai lewat jam sepuluh malam kami berbincang-bincang.

Dalam kesendiriannya di rumah tua itu, Mbah Harjo selalu mengingat anak, cucu, dan tetangga-tetangganya yang sama-sama perajin. Meski tidak dapat memenuhi permintaan pasar akan berbagai variasi gerabah berukuran besar, Mbah Harjo tetap setia membuat bentuk gerabah yang ia mampu.

Sing penting manteping ati. Yen ati landhep, apa wae bisa digawe,” begitu katanya. Ia menekankan tanpa niat yang kuat dan tulus, sesederhana apapun bentuk gerabah tidak akan jadi.

Lepas dari benar tidaknya prinsip Mbah Harjo ini, saya sudah merasakan bahwa membuat gerabah tidak mudah. Ketekunan dan kesabaran memang menjadi kunci hasil yang sempurna. Meskipun sudah berkonsentrasi penuh, menguatkan niat, dalam sepuluh menit tanah liat di tangan saya tetap tidak berubah bentuk…. (jeng)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home