Wednesday, September 13, 2006

Berkenalan dengan Wonogiri

Perjalanan dari Yogyakarta menuju ke Wonogiri memakan waktu yang cukup lama. Dengan Honda Supra X125, waktu tempuh kami dua jam. Kami berangkat lewat Klaten-Wedi-Bayat-Weru-Manyaran-Wuryantoro. Sedangkan pulangnya, kami lewat Sukoharjo-Solo-Kartasura-Klaten.

Pertama kali datang (21/8), tempat yang kami tuju adalah Waduk Gajah Mungkur. Kebetulan sekali di sana ada pembukaan Gantolle Championship bertema “Wonogiri Fly”. Secara khusus, acara ini mengundang ketertarikan saya karena saya belum pernah melihat gantolle secara dekat. Tema yang diusung juga memberi angin segar bagi saya untuk “flying” dengan Supra X125 mengelilingi Wonogiri. Sayang sekali karena luasnya daerah Wonogiri (1.822.37 km persegi yang terbagi menjadi 25 kecamatan) dan waktu yang hanya tiga hari, baru dua kecamatan yang saya jelajahi, yaitu kecamatan Wonogiri dan Selogiri.

Setelah kami mengikuti brieving penerbangan gantolle pertama di gunung Joglo, kami berpisah. Rosi meliput di sekitar Waduk Gajah Mungkur dan saya meliput di dua kecamatan.

Sore hingga malam hari, saya meliput pertambangan batu karst dan andesit di Desa Sendang, Kecamatan Wonogiri. Di sana ada sepuluh daerah pertambangan. Empat pertambangan di lereng-lereng perbukit bagian dalam dan lainnya di lereng-lereng perbukitan bagian luar dekat jalan raya Wuryantoro-Wonogiri. Hasil penambangan itu berupa pawon, giring, anglo, dan batu belah.

Pertemuan saya dengan Warimin dan Sutrisno memberikan cakrawala pengetahuan dan pengalaman baru. Saya belajar teknik menambang dan membentuk batu. Dari kisah hidup mereka saya mendapatkan filosofi batu, pawon dan giring. Dari batu saya belajar kerendahan hati, kekokohan, dan proses pembentukan batu. Dari pawon saya belajar kegunaan dan kerelaan untuk berkorban. Sedangkan dari giring, saya belajar keberanian dan ketulusan untuk menjadi penopang hidup bagi keluarga.

Malamnya, saya menginap di Losmen Sidodadi. Tidak tahu kenapa saya merasa risih dan tidak krasan tinggal di hotel itu. Sudah kamarnya no. 13 masih ditambah lantunan tembang “...” dari kamar sebelah. Tanya punya tanya, ternyata hampir 80 persen kamar selalu dipakai pasangan untuk begituan. Hitung-hitung punya pengalaman menginap di hotel murah meriah sekaligus “full musik”. Malam-malam berikutnya, saya menginap di Hotel Melati Wisma Giri, tempat para sales biasa menginap.

Hari kedua (22/8) saya meliput pertambangan emas di Desa Jendi, Kecamatan Selogiri. Pengalaman menyusuri urat-urat emas dan ikut menambang emas di tempat itu merupakan pengalaman berharga bagi saya. Dalam penyusuran urat-urat emas, saya mendaki bukit Tuk Tumpu. Di sana saya menemukan ada lima tambang yang masih beroperasi sejak tahun 1995 dan banyak tambang yang sudah tidak ditambang lagi. Para penambang itu menambang emas dengan dua cara, yaitu dengan menerowong dan membuat sumur. Tambang-tambang yang sudah tidak dipakai lagi sebagian besar sudah ditimbun dan beberapa masih dibiarkan saja.

Saya turut menambang emas di pertambangan milik Ibu Repiyati. Saya masuk ke tambang berbentuk sumur sedalam 30 meter. Di dasar tambang ada sungai kecil yang berfungsi untuk mendulang contoh bebatuan apakah mengandung emas atau tidak. Dalam tambang itu terdapat terowongan lebih kurang sepanjang lima meter. Katanya, terowongan ini dibuat mengikuti urat emas.

Setelah mendulang dan memecah bebatuan di dalam tambang, saya kembali ke atas dan menarik satu ember berisi batuan tersebut dibantu Mas Dwi, putra Ibu Repiyati. Batu-batu itu kemudian saya remukan. Remukan itu saya masukan ke dalam sebuah mesin gelundung yang berfungsi untuk menggiling, menghaluskan, dan memisahkan emas dari unsur-unsur lainnya. Untuk memisahkan emas, saya memasukkan air raksa ke dalam mesin gelundung. 15 menit kemudian, saya pisahkan bijih emas yang sudah “terjaring” dalam air raksa itu dari unsur-unsur lain. Dengan kain untuk membuat payung, bijih emas yang sudah terjaring air raksa itu saya peras. Tidak lama kemudian, dalam kain payung itu bijih emas berbalut perak berbentuk bundaran kecil saya dapatkan. Berat bundaran itu 600 miligram. Agar emas murni bisa dihasilkan, saya membakar bijih emas berbalut perak itu menjadi emas dengan berat 300 miligram dengan alat pembakar tradisional.

Hari ketiga (23/8) saya mencari data tambahan di Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan. Sampai di sana saya diminta menemui humas kabupaten dulu. Bahkan ketika saya janjian dengan Kepala Dinas Pertanian, untuk datang ke sana esok harinya, Kepala Dinas meminta saya agar humas kabupaten ikut menemani wawancara.

Dari Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan, saya meliput kekeringan di Kecamatan Selogiri. Memasuki masa tanam ketiga, yakni tanam palawija, beberapa petani di sana justru menanam padi. Mereka memanfaatkan air dari bocoran Waduk Krisak. Sedangkan sebagian besar petani lain membiarkan lahannya bero.

Hari keempat (24/8) bersama Rosi, saya mencari data di Kantor Humas Kabupaten dan Dinas Pertanian. Banyak informasi yang kami dapat yang sebenarnya bisa kami jadikan bahan liputan, seperti wisata spiritual, program intensifikasi lahan pertanian (penanaman salak pondoh, palawija di masa tanam ketiga, dan melon) dan pekarangan (penanaman pohon pisang dan angur untuk peningkatan gizi di masa kekeringan, penanaman pohon strawbery untuk penunjang wisata).

Belajar dari pengalaman Mas Luwi, saya juga berwisata kuliner. Bakso Titoti, Bakso Raksasa, Nasi dan Bakmi Goreng Pak Bagong, Sate Kambing Wonokerto, saya cicipi. Ketika makan di Warung Bakso Raksasa saya kecewa. Awalnya saya penasaran seberapa besar bakso yang akan disajikan. Ternyata ketika sudah tesaji, baksonya kecil-kecil. Setelah saya tanyakan ke penjualnya, bakso raksasa hanyalah nama saja bagi warung itu. (mo)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home