Wednesday, September 13, 2006

Menyeberang ke Nusakambangan

Bunyi kelatak-kelatak dari mesin perahu compreng menuju Nusakambangan menenggelamkan sisa-sisa rasa berani yang saya miliki. Takut sekali saya pagi itu. Barangkali karena harus “menyamar”, atau karena ada alat perekam di saku, atau karena pergi dengan laki-laki yang baru dikenal, dan ia bersenjata, dan ia menawari menginap di sebuah rumah kosong di pulau penjara.

Laki-laki itu, namanya Ari, 27 tahun, sudah 6 tahun menjadi sipir Permisan, penjara paling ditakuti di Nusakambangan. Ia berpesan bahwa kami harus saling menjaga. Yang harus saya ingat: tidak boleh banyak bertanya kalau di sekitar banyak petugas, tidak boleh lupa bahwa saya adalah kawan adiknya dari les bahasa Inggris di Depok, dan, yang terberat, tidak boleh terlihat mencatat.

Setibanya di Sodong, gerbang Nusakambangan, kami menunggu mobil di warung kopi. Teman-teman Ari pura-pura batuk tiap kami bersalaman. Mereka menganggap saya pacar gelapnya yang kesekian. Namun, ada satu komentar yang membuat saya terhenyak, “Kok bajunya hitam-hitam, jangan-jangan wartawan, ya?” Lutut saya melemas. Untung adegan itu tak berlangsung lama karena Ari meyakinkan bahwa saya adalah teman adiknya, Fitri, yang ingin dolan ke Nusakambangan.

Pukul 9, kami menumpang ambulans naik ke atas. Perjalanan sekitar 20 menit di atas jalanan yang tak rata, terakhir diaspal tahun 1980-an menurut sopir yang menyetir sambil memangku cucunya. Ari lalu meminjam sepeda motor kawannya. Saya minta langsung dipertemukan napi, tapi mereka masih bekerja. Akhirnya kami melaju ke ujung Permisan, melihat pinggiran Pasir Putih yang tersapu tsunami. Ketika saya mengambil gambar, Ari berkata pada sekitar, “Hasan, numpang-numpang ya!” Hasan dan Wilem adalah napi yang meninggal digulung ombak tsunami bersama 20 orang lainnya.

Kami lalu masuk ke “Penjara SMS” atau penjara super maximum security yang pembangunannya sedang dirampungkan. Bedanya dengan penjara biasa: ada kawat yang dialiri listrik mengelilingi pagar (di 4 penjara lain juga ada, namun sudah tidak difungsikan), lapisan baja dalam tembok, tiap sel bisa dilihat dari lantai atas sehingga napi nyaris tidak punya privacy, tidak memakai kasur karena dapat digunakan untuk bunuh diri. Gengsi para sipir akan naik jika berhasil lolos seleksi untuk bertugas di situ.

Keluar dari penjara SMS, motor kami diberhentikan petugas. Kami ditanya apa keperluannya, apakah mengambil gambar atau tidak. Tenggorokan saya tercekat membayangkan ia akan mengambil kamera, mengusir saya, memecat Ari. Untungnya, kami dibiarkan lewat.

Dari penjara SMS, saya mulai berbincang-bincang dengan para napi di bawah pohon. Mereka sedang istirahat setelah mencari pasir, berkebun, mencuci mobil. Saya tertarik mengamati kegiatan mereka di luar penjara ini. Safizan menumis sayur dan merebus mi di dapur, padahal ketika masih menjadi preman Cimone, Tangerang, ia tidak pernah menginjak dapur. Lalu seorang napi dari Jakarta Utara, cerah wajahnya saat saya tawari menulis surat untuk saya poskan ke saudaranya di Jakarta. Tapi, tiga lembar kertas yang saya sodorkan diambil kembali oleh Ari, si sipir, sambil berkata, “Kowe raup sik!” artinya semacam “Mimpi lu bisa kirim surat seenaknya?” Ada napi yang tak sabar ingin menghirup udara bebas, tapi ada juga yang takut bebas karena keluarga korban masih menunggu atau takut dipenjara lagi karena tak ada pekerjaan baik-baik di luar sana.

Di bawah pohon ini, para napi dan sipir saling bertukar banyolan. Salah seorang napi minta difoto bersama sipir. Si sipir bergaya memiting leher napi. Ketika melihat foto, si sipir berkomentar, “Kayak kakang-adhi yo?” Keakraban mereka mengingatkan saya pada cerita seorang pensiunan sipir, Sutrisno, yang saya temui sehari sebelumnya. Meski mengaku galak semasa bertugas, rumah Sutrisno kini sering didatangi para mantan napi yang dulu telah dididiknya. Sutrisno dianggap sebagai bapak di penjara yang keras.

Siangnya, saya mengobrol dengan Dupon, 47 tahun, mantan napi sudah bebas sejak Mei lalu, namun memilih tinggal di Nusakambangan ketimbang pulang ke Pangandaran. Setelah sama sekali tak saling menelepon atau berkirim surat selama 6 tahun, istrinya datang dari Tangerang untuk hidup bertua-tua bersama Dupon dalam gubuk 3x4 meter mereka.

Kristiono dan Andi adalah dua sipir terakhir yang saya ajak bicara hari itu. Akhirnya, saya meninggalkan Nusakambangan dengan naik compreng sendirian pukul 16.30. Waktu pemberangkatan diatur demikian cermat agar saya tidak berpapasan dengan Santoso, atasan Ari.

Meski sempat kecewa karena tak bisa menembus pintu penjara, sore hari itu saya pulang dengan cukup senang karena membawa sekantung cerita dan pengalaman. (vir)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home