Wednesday, September 13, 2006

Batu, Pasir, dan Yoga

Batu, Pasir, dan Yoga

Pukul 10 pagi, saya dan Yoga tiba di Muntilan. Tanpa banyak bicara, kami langsung mencari angkutan umum yang akan mengantarkan ke penambangan Kali Putih.

Kali Putih yang ada dalam bayangan saya adalah sungai besar dengan bebatuan di tengah-tengah. Pasir melimpah di tepian sungai. Penambang-penambang yang berjejer mengangkut pasir ke dalam truk besar dengan pantat truk bertuliskan dari “Kutunggu Jandamu” hingga gambar-gambar perempuan dan keindahan dunia ala para pengendara truk tersebut.

Nyatanya, bayangan tinggal bayangan, karena sungai yang disebut Kali Putih berukuran tak lebih dari 1 meter. Ia lebih cocok disebut selokan ketimbang sungai. Airnya tak deras, pun tak tampak satupun penambang berkeliaran di sana.

Belum habis kebingungan kami, seorang warga menyarankan untuk ikut mobil besar sampai ke tempat penambangan yang sesungguhnya. Mobil besar yang ia maksud ternyata truk.

Maka kami memberhentikan truk pertama yang lewat, yang ternyata adalah truk Volvo merah tahun 1970 yang jalannya “ogrok-ogrok”. Untuk ikut pun, kami terlebih dulu harus memanjat badannya setinggi 3 meter. Pertama harus memijak ban truk yang tingginya sedada saya, lalu memijak bolongan-bolongan kayu di pinggiran badan truk, langsung melompat ke dalam truk tadi. (..sekarang saya tahu fungsi permainan tangga raksasa di outbound kemarin)

Setelah masuk pun, kami masih harus terkesima dengan jalannya yang berliku-liku, dan berbatu. Menyiapkan tubuh untuk dibanting kanan-kiri, depan belakang. Memegang apapun yang bisa dipegang dengan kencang. Lalu berhati-hati pada bolongan-bolongan di dasar truk, agar kaki tidak terseok masuk ke dalamnya.

Di sanalah saya, dengan jaket putih krem yang baru berumur sehari. Baju hitam bertuliskan Kafka-Prague yang pastinya tidak berbunyi di sana. Rambut bersih yang baru dicuci pagi tadi. Memegang kencang-kencang badan truk, agar tidak terlempar keluar.

Semakin ke atas, tumbuhan semakin jarang. Debu semakin senang mengepul beterbangan. Mata sedikit-sedikit silau dan tenggorokan kering. Tapi pemandangannya luar biasa. Jatuhnya sinar matahari ke Merapi membentuk siluet. Merapi hanya terlihat samar-samar karena kabut debu yang tebal. Ia tampak dekat, tapi terasa sangat jauh.

Perjalanan ke Kali Putih memakan waktu sekitar satu jam. Kami turun bersama para penambang, dan melihat cara kerja mereka. Di tanah pasir yang tampak tak berbatas itu hanya ada kami berenam.

Setiap penambang memiliki kisah menarik, yang jika dituliskan, bisa menjadi cerpen bersambung—satu orang mantan supir komandan yang terlibat PKI, seorang lainnya baru lulus sma—setiap orang dengan masa lalunya sendiri-sendiri.

Setelah berbagi makan siang berupa donat bekal dari Yogyakarta, saya dan Yoga memutuskan untuk pergi duluan. Ternyata konsekuensi dari keputusan itu sangat berat. Kami harus melalui jalan bebatuan yang tampak siap longsor tiap saat. Gunungan batu dan pasir harus dilewati, salah pijakan, batu bisa longsor, kami berjalan tanpa kepastian: apakah kita berada di jalan yang tepat?

Kami bertemu dengan beberapa penambang batu yang memberi petuah-petuah di jalan, seperti: “Jangan terlalu banyak tertawa, karena ada nenek lampir yang suka ikut tertawa juga.” Maka kami berjalan terus, berjalan terus mengikuti ingatan-ingatan pagi tadi tentang arah dan kelokan.

Waktu satu jam lebih terasa seperti sehari. Jika mendadak hujan, maka material Merapi akan hanyut hingga tempat kami. Membentuk Kali berwarna putih berisi batu dan benda vulkanik lainnya.

Hari mendung, kami bahkan belum sepertiga perjalanan. Akhirnya kami kembali menumpang truk lain yang kebetulan lewat; meski Yoga terpaksa menyempil di belakang truk di tengah-tengah pasir.

Hari itu berakhir sukses. Kami mencari penginapan di daerah Muntilan, yang lebih tampak seperti penginapan hantu. Bangunannya besar, masih bergaya sangat pecinan. Dalamnya tampak gelap, karena magrib itu tak satupun lampunya dinyalakan. Lobi terisi hanya dengan beberapa kursi dan meja yang bergaya kuno. Di tengah-tengah, satu meja kayu besar untuk resepsionis. Tak ada yang menunggu di sana, kecuali peta yang kusam dan burung Garuda Pancasila.

Karena kami sudah terlalu takut, sebenarnya kami ingin menyewa satu kamar, namun sayangnya, karena kami bukan mukhrim, kami ‘dipaksa’ menyewa dua tempat. Terlalu ketakutan, saya dan Yoga selalu berteriak-teriak lintas kamar. Kami selalu ke kamar mandi bersama, lalu menghabiskan malam membersihkan wajah dan memasang masker agar tidur malam jadi lebih cepat dan nikmat.

Selama perjalanan dua hari ke depannya, beberapa kali perkiraan meleset. Kami harus menyeberang sungai Pabelan yang tak berjembatan. Bak pemanjat gunung Merapi, kami naik turun di antara pepohonan rindang. Melewati kuburan yang sepi tanpa penerangan sedikit pun. Senter yang tiba-tiba padam, dan aliran air yang mendadak berhenti. Membagi ojek bertiga malam-malam.

Kami bertemu dengan banyak sekali orang baik. Mereka yang menawarkan tumpangan. Yang memberi arah jalan dan bahkan mau mengantarkan. Banyak manusia dengan kesederhanaan luar biasa. Dengan sikap nrimo, dan ketegaran menjalani hidup yang terkadang naik, seringnya turun itu.

Namun, yang paling berkesan bagi saya adalah seorang ibu bernama Tamiyem. Usianya mungkin mendekati kepala 6 bahkan 7. Badannya kecil, punggungnya membungkuk karena terlalu sering membawa beban yang berat. Ia masih sigap berjalan naik turun dan melewati sungai. Hanya beralaskan sendal jepit, arus sungai dilewatinya dengan mudah, padahal saya dan Yoga sudah kesusahan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh, sementara saya menjaga agar sendal saya tak turut seretan air sungai.

Komunikasi saya dan Tamiyem terhambat, karena ia tidak menguasai bahasa Indonesia. Sebaliknya bahasa Jawa saya juga sebatas mengerti tanpa bisa berbicara balik, apalagi dengan kromo. Tapi binaran matanya mengatasi semua. Ketika kami tiba di tempat tujuan, Yoga dan saya mengeluarkan bungkusan berisi kue-kue brownies kecil. Pertama ia menolak menerima, bersikeras menganggap itu tidak perlu. Namun, ia lalu menerima dengan mata yang berbinar-binar, yang sinarnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata—setidaknya saya tidak bisa menggambarkannya.

Ketika kami bertemu dia lagi, ia tengah memakan satu brownies, lalu tersenyum lebar. Matanya bagus sekali. Terasa semangat hidup dari matanya. Mendadak ia tampak seperti mata gadis kecil yang mendapat lolipop pertamanya. Ia tampak bahagia. (iju)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home