Wednesday, September 13, 2006

Berburu Belimbing di Kota Wali

Apa yang terpikir ketika mendengar kota Demak? Bisa dipastikan tak jauh-jauh dari Masjid Agung Demak, Kota Wali, Sunan Kalijaga, dan juga belimbing!

Belimbing demak yang terkenal sebagai komoditas unggul saat ini sulit ditemui bahkan di kota asalnya, Demak. Pasalnya, petani berbondong-bondong mengganti belimbing dengan jambu.
Saya bersama seorang rekan akan bertemu para petani di Demak untuk mengetahui mengapa mereka rela mengganti buah bintang itu dengan jambu dan berbagai seluk beluk perbelimbingan di sana. Terima kasih kepada “kakak” Google, kami berhasil menghimpun berbagi informasi tentang belimbing demak, termasuk sentra pembudidayaan belimbing di Kelurahan Betokan. Minggu (20/8), kami bertolak dari Yogyakarta menuju Kota Wali.

Perjalanan ke Demak ditempuh selama enam jam. Kami harus singgah dulu di Semarang karena bus PO Nusantara yang langsung ke Kudus dan melewati Demak berangkat pukul tujuh pagi. Sedangkan kami bertolak dari Yogyakararta pukul sepuluh pagi. Tak apa, toh, Semarang-Demak hanya memakan waktu setengah jam dengan bus kecil jurusan Purwodadi.

Sekitar pukul setengah empat sore kami tiba tepat di depan Masjid Agung Demak yang tersohor seantero nusantara itu. Usai menikmati nasi pecel kaki lima sebelah utara masjid – yang mulanya kami kira sebagai nasi mawut – kami langsung menuju sentra pertanian belimbing di Demak, Desa Betokan, yang hanya ditempuh beberapa menit dengan becak. Namun, si abang becak mengantarkan ke Desa Singorejo, tetangga Desa Betokan, yang masih masuk Kelurahan Betokan

Tapi...tunggu dulu, Betokan sentra belimbing demak? Lha, mengapa sejauh mata memandang jambu air semua? Mana belimbingnya? Kami pun menanyakan beberapa pedagang di sana. Semua jawaban nampaknya mengarah pada satu benang merah: secara ekonomis, jambu lebih menguntungkan daripada belimbing, tidak sebanding dengan perawatan belimbing yang sulit. Sambil berdiskusi di atas becak mengenai angle dan lead, menjelang maghrib, kami kembali ke basecamp: Masjid Agung Demak.

Malam Isra Miraj – kebetulan, Senin (21/8) esok hari adalah hari libur memperingati Isra Miraj – kami habiskan di pekarangan sebelah barat Masjid, sambil memperhatikan orang-orang lalu lalang, keluar masuk pekarangan untuk berziarah di makam raja-raja Kesultanan Demak, seperti Raden Patah, Dipati Unus, dan Sultan Trenggono. Sesekali kami bertanya kepada para pezirah tentang apa yang mereka dapatkan setelah berziarah, mengapa mau berziarah ke sini, berapa kocek yang harus dikeluarkan, dan lain-lain.

Tanggapannya berbeda-beda. Seorang ibu berbaju hitam dan berkerudung merah malah lari terbirit-birit ketika saya coba dekati dan bertanya basa-basi sebagai pembuka. Tetap saya kejar Ibu yang datang dari Surabaya itu. Terjadilah aksi lari berbirit-biritan antara saya dan si Ibu menyusuri gang kecil yang penuh pedagang cinderamata di kanan kiri, menyeruak dari sesakan orang-orang yang berjalan.

Dengan bantuan Iwan, seorang penjaga kedai makan yang baru dikenal ketika sampai di Demak, sekitar pukul 23.00 kami diantar ke Hotel Sederhana, 500 meter sebelah utara alun-alun Masjid Agung.

Senin (21/8) pagi, kami menyempatkan ke Pasar Bintoro, berbincang dengan para pedagang belimbing yang mengaku menjual belimbing demak asli, yang setelah kami tunjukkan ke seorang petani di Desa Betokan semuanya berasal dari Blitar, Jawa Timur. Kami tertipu...

Siang hari kami mengunjungi petani di Desa Betokan yang juga sudah mengganti belimbing dengan jambu sebelum ke Desa Ploso, Kecamatan Karangtengah. Petani Desa Ploso ternyata masih banyak yang menanam belimbing, tidak seperti Desa Betokan dan Singorejo. Air adalah kendala utama petani belimbing di Desa Ploso. Mereka juga mengatakan Dinas Pertanian setempat tidak pernah memberikan perhatian khusus bagi mereka, seperti pemberian pompa air diesel untuk terus menyirami tanaman belimbing walau musim kemarau sekalipun.

Malam hari kami pindah ke penginapan di sekitar Masjid Agung tempat para pezirah biasa menginap. Dekat dari basecamp dan Murah, hanya Rp 20.000, tanpa kasur, hanya bergelar karpet, dengan penjaga tiga pemuda belasan tahun asal Bonang yang mengaji sepanjang hari.

Selasa (22/8), saatnya ke dinas-dinas pemerintahan setelah sebelumnya mereka “cuti” panjang karena libur Isra Miraj. Ironis, karena menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Demak Muhamad Yusuf, pihaknya selalu memberikan penyuluhan kepada petani. Sedangkan pengairan bukan masalah karena para dia yakin para petani sudah memiliki seluruh pelaratan pompa diesel itu.

Dengan sepeda yang dipinjamkan oleh Iwan, kami juga bertemu Kepala Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak, berbincang masalah pengembangan pariwisata Demak dan rencana agrowisata belimbing dan jambu di Betokan. Sepeda kumbang dan federal yang saya dan teman saya naiki juga membawa kami kembali ke Betokan untuk bertemu Karmono, petani yang sudah mendapat penghargaan dari pemerintah Jepang atas usahanya membudidayakan belimbing. Penghargaan itu berupa pemavingan jalan desa yang melewati kebun dan rumahnya. Dia benar-benar hidup untuk bertani.

Rabu (23/8), kami mengunjungi makam sunan kalijaga di Kadilangu yang selalau ramai oleh peziarah dari berbagai daerah untuk bertemu dengan keturunan XIV Sunan Kalijaga. Apa yang ada di benak saya adalah orang tua itu pasti sangat kejawen, renta, pakai blangkon, konservatif. Tapi sosok Muhamad Soedyoko yang tua itu tak seperti yang kami kira. Wawasannya luas, pikirannya terbuka, sangat menghargai akulturasi Islam dan kejawen. Pernah kuliah di Leiden dan Harvard!!

Kami berbincang soal banyak hal, mulai dari belimbing dan Sunan Kalijaga, akulturasi, sampai rumah berarsitektur Jawanya yang sangat teduh, seolah mengajak para pendatang untuk melepas penat, sekedar duduk, beristirahat sambil ngobrol dengan si pemilik rumah. Sangat nyaman...

Malam hari, ditemani sebungkus martabak dari Iwan, suara ngaji para santri di penginapan, dan desingan nyamuk yang enggan menghisap darah – terima kasih kepada Sofell, obat anti nyamuk oles – kami mulai merangkum secara kasar apa yang sudah didapat selama empat hari di kota yang terapit dua raksasa, Kudus dan Semarang.

Kamis (24/8) pagi-pagi sekali, kami sudah harus kembali ke Yogyakarta. Bus yang membawa kami, PO Nusantara kali ini langsung dari Kudus ke Yogyakarta, tidak melewati Semarang. Rekan saya tidur pulas hingga menganga, tetapi saya tidak bisa tidur dan memilih melihat pemandangan di luar. Mana tahu tiba-tiba Borobudur terlihat di Magelang...Lho?!! (bgz)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home