Wednesday, September 13, 2006

Selamanya Tetap Cinta Laut

Saya sangat antusias ketika mendapat penugasan ke Kota Cilacap yang memiliki banyak pantai. Jika ada tempat di muka bumi yang selalu ingin saya kunjungi, pastilah itu adalah pantai. Sebelum berangkat, saya sudah membayangkan hamparan pasir lembut dengan suara deburan ombak yang menyentuh bibir pantai.

Selain menyaksikan keindahan pantai, saya sangat berharap bisa ikut tandem melaut bersama nelayan tradisional. Selama ini saya hanya mendengar tentang kehidupan mereka yang penuh penderitaan, tapi tidak pernah saya buktikan.

Ternyata Kota Cilacap sangat luas, 226.360 hektare. Jarak antara satu lokasi liputan dengan yang lainnya sangat berjauhan. Fokus liputan saya dan seorang rekan seperjalanan yang sama-sama calon wartawan Kompas, Intan adalah tentang pemulihan kondisi perikanan dan pariwisata pascatsunami.

Saat berkunjung ke berbagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI), saya berkenalan dengan seorang nelayan di Pantai Teluk Penyu, Jamjam (45). Dia mengizinkan saya turut serta melaut. “Jangan menangis ya Mbak. Ini bukan perjalanan untuk bersenang-senang,” kata bapak lima anak itu.

Akhirnya kesempatan untuk melaut itu datang baru pada hari ke tiga. Padahal kami juga harus bertolak menuju Pulau Nusakambangan untuk meliput kehidupan para sipir penjara. Karena keterbatasan waktu, kami berbagi tugas. Saya melaut dan Intan ke Pulau Nusakambangan.

Pada Selasa (22/8) malam, saya menginap di rumah Jamjam. Saya tidur berdua dengan putrinya, Tria (19). Dinginnya udara yang menyusup lewat celah-celah dinding bambu tak mengusik nyenyaknya tidur kami. Di ruang tamu, dengan beralaskan tikar, Jamjam mengobrol dengan rekan melautnya, Parta (41).

Pukul 02:30, Jamjam membangunkan saya untuk segera bersiap pergi melaut. Ingin rasanya saya berkata, “Pergi saja sendiri, saya ingin tidur.” Tapi tetap saja saya harus bangun, mencuci muka, dan minum segelas oralit agar tak mabuk di laut.

Setelah mengenakan jaket tebal, topi, dan jas hujan, kami berangkat bertelanjang kaki menyusuri jalanan berpasir menuju pantai. Dinginnya udara pagi langsung menyergap. Saat tukang tarik perahu datang, Jamjam melarang saya berbicara. “Biar mereka menyangka kamu pria,” kata Jamjam. Suasana remang-remang di pantai ternyata mampu menyembunyikan identitas saya.

Setelah mesin perahu terpasang, mereka mengizinkan saya naik ke atas perahu berukuran 9.5 X 1 meter itu. Begitu perahu melaju, air laut menerjang ke seluruh sudut perahu. Seluruh badan saya basah kuyup. Cahaya cakrawala dan bintang-bintang yang berkelip di angkasa menyajikan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Tiga jam perahu melaju untuk mencari udang di perairan sekitar Pulau Srandil. Perlahan-lahan kabut yang menutupi gugusan Pulau Srandil dan Pulau Nusakambangan mulai menghilang. Bulatan matahari muncul di ufuk timur, menampakkan cahayanya yang kemerahan. Kami menikmati nasi rames dan pisang sebagai menu sarapan sambil memandangi keindahan sang mentari.

Matahari terus bergerak, cahayanya yang merah mulai menghangat hingga sangat terik. Hawa dingin pun berganti menjadi panas terik yang menusuk kulit. Tapi, tak sekalipun semangat kedua nelayan itu kendor. Kami terus menarik jaring yang berat itu. Namun hasil melaut kali ini mengecewakan. Sepuluh jam kami mengarungi samudera, tapi hanya memperoleh 1 kilogram udang dan 2 kilogram ikan.

Siksaan terberat yang harus saya alami adalah menahan buang air kecil selama sepuluh jam. Selain itu pada pukul 09:00, tiba-tiba saya datang bulan. Padahal saya tidak sempat membawa pembalut.

Namun yang cukup membanggakan adalah ketika kami pulang. Beberapa warga di perkampungan nelayan mengaku kagum karena saya kuat melaut dan tidak mabuk. “Wah kendel, kita aja nggak pernah berani melaut,” kata salah seorang ibu.

Saya hanya tersenyum sambil menahan rasa mual, pusing, dan kulit yang terbakar. Ingin rasanya segera mandi dan membaringkan diri. Ketika Jamjam menawari untuk ikut melaut lagi esok hari. Saya buru-buru menjawab, “tidak!” (maw)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home