Tuesday, November 21, 2006

Puas Tak Tergantikan

Hari ini, entah mau dikata apa: lebih baik, lebih buruk, atau bagaimana... dibanding kemarin? Pastinya sih, aku tidak menulis satu berita pun. Kecewa? Ya, lumayan. Hanya sedikit, karena sebenarnya aku puas dengan hari ini.

Senang rasanya bisa tertidur di sebuah Pantai Sunyi, diiringi deburan ombak, tiupan angin, dan hangatnya matahari yang ditangkis helaian atap rumbia. Di gubuk sunyi yang berlatar Mercu Suar Pantai Patehan, aku menghabiskan hari. Memang sengaja, karena bosan, karena malas, karena sedang tidak ingin jadi wartawan.

Tiba pukul 8.30 dan baru keluar Samas pukul 11.30. Catatan kosong, kepala tanpa rencana, jiwa ringan, hati senang, kantuk hilang, penat bablas...

Rasanya? Puas sekali. Aku tidak peduli dengan apa pun, aku tahu hari itu aku tidak akan maksimal, dan memang sedang tidak ingin maksimal, jadi ya... buat apa dipaksakan? Buat menambah kredit? Ah, kebanyakan kredit malah susah bayarnya.

Proses belajar itu sedang dimulai, aku memilih lewat jalur lambat saja. Jadi kalau mau keluar jalur bisa langsung, syuuut... dengan manuver sederhana. Bagi yang sudah berada di jalur tengah: "Selamaaat yaaa... Teruskan perjuanganmuuu...!!" (berteriak karena yang diteriaki sudah jauh di depan sana).

robin-can-not-be-forced

Saturday, November 11, 2006

Beauty Class? Masih lanjut...

Setalah puas mencerca Thomas Djorgie yang bangga dengan "Sembako Cinta"-nya, padahal ya ampun, lagu itu kayanya dah gak pake deh di zaman so-modern-like-nowadays, aku pun balik kanan dan melongok keluar jendela.

Sana cute, situ imut, sono seger, aih... sini? Ya gitu deh,
Lautan selebs sudah mengantri sejak pintu pagar yang jauhnya sekitar setengah mil dari pintu masuk "SSG" Salon, Bridal, dan Mbradul. Kebanyakan brondong, baik pria, wanita, maupun spesies tengah-tengah. Tapi banyak juga tuh yang sudah punya cucu banyak... Tuh si tante kupu-kupu malam datang. Titiek Pusponegoro, ngapain ya, kok tumben?

(Membuka pintu, menyeruak di antara lautan selebs yang saling menggapai-gapaikan tangan, memohon untuk dirias dan dibuat lebih oke. Tapi aku tetap berjalan, di kiri dan kanan sudah siap dua satpam berbadan king kong yang siap menggampar setiap selebs yang menghadang. Terang aja semuanya menyingkir... kena gampar? Gak jadi syuting dong...)

Aku: "Tante Titiek,"
Tanti (singkatan Tante Titiek): "Mas, Mbok aku didahulukan, liat iki, bibirku soyo ndower..."
Aku: "Lha, ngopo tho, Tan? Kok iso abuh (gede) koyo ngono?"
Tanti: "Kowe ngerti dhewe lah, digigit brownies,"
Aku: "Brownies?"
Tanti: (sambil mendekat dan berbisik) "Brondong manis, koyo kowe.."
Aku: (hanya tersenyum kecut seperti menelan jeruk mandarin palsu)

Akhirnya si Tanti dapat fasilitas duluan. Well, tadinya dia menyelipkan amplop di saku jaketku sih, tapi karena dulu syariat harian "kini" mengeluarkan fatwa haram pada amplop... maka aku buka dulu amplopnya, lalu isinya kupindahkan ke dompet. Yang haram amplopnya tho? Jadi dibuang saja. Kalau perlu dibakar, terus tanganku kubasuh 7 kali pake tanah.

Begitulah hari-hari sebagai make up artis. Berangkat dari ide teman yang entah mengapa bisa sampai seperti ini. Bahkan aku tidak ingat kapan mulainya, tahu-tahu ya settingannya sudah duduk di sofa merah. Ajaib ya?

Bukan karena rajin jumpa fans sama seleb, atau menjadi seleb di antara seleb, tapi ada yang beda saja dibanding dulu... duduk di depan seleb, menanyai mereka tentang pengalaman, harapan, dan bleketrek jret hal yang lain. Sama-sama mendandani sih, cuma kalau dulu bagaimana mendandani kata demi kata untuk mempercantik sang seleb, kini ya mukanya dong yang didendong-dendong....

robin-will-always-be-robin

bukan kelanjutan dari "pertanda atau..."

Hari ini rasanya enggan,

kaki enggan berjalan,
jari enggan mencatat,
mulut enggan bertanya,
kepala enggan berpikir,
hati enggan merasa,
mata enggan menatap,
kuping enggan mendengar,

Tak ingin begini, tak ingin begitu
tapi harus begini dan mesti begitu....

do-they-still-call-me-robin?

Tuesday, November 07, 2006

isnt't this ironic?


DICARI:
Sebuah perusahaan sedang mencari individu-individupecinta makanan yang juga dapat menulis ulasan tentangmakanan di sejumlah tempat di Jakarta.

Mereka yangterpilih akan menentukan sendiri jadwal kerja merekauntuk menikmati sejumlah tempat makan dan mampu memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan. Jika Anda tertarik, Anda harus sesuai dengankualifikasi di bawah ini.
Anda: - Warga Negara Indonesia/ asing- 25 - 55 tahun
- Suka makanan
- Jujur
- Memiliki keingintahuan akan tempat-tempat makan
- Memiliki kemampuan menilai yang objektif
- Mampu menulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris
- Bersedia untuk menulis tentang sejumlah tempat makanyang ditunjuk apakah itu restoran (lokal/internasional) warung, atau kaki lima
- Mampu memenuhi jadwal deadline Jika Anda sesuai dengan kriteria di atas, segera kirimkan: - CV - SATU ulasan Anda tentang makanan sebuahrestoran/kaki lima/warung di JAKARTA. Ulasan ditulisdalam bahasa Indonesia dan Inggris masing-masing dalam MAKSIMAL 50 kata.

Kirim melalui surat elektronik ke kububuku@kububuku. compaling lambat 20 November 2006



(this is like meeting a soulmate, a day after you've been crushed by the reality of marriage)
iju

p.s. int: what if?

Sunday, November 05, 2006

beauty class begin

Pertanda atau ... ah, entahlah.

Seorang teman, tidak, dua orang teman sempat memberikan pandangan mereka tentang apa yang aku lakukan jika tidak lagi bisa log in ke web site harian "kini". Katanya, aku pantas menjadi make up artist. Hohoho, begitu pantas kah aku?

Terus kemarin pas ke Kafe Bogey's Teras, untuk mentransformasi bentuk Kerispatih menjadi rangkaian kata, tiba-tiba insting make up artist-ku muncul. Duh, Sammy, kok keringetan segede jagung gitu, jerawatan pula... mmm, kudunya jangan pake foundation tebal. Kan, lampu shot panggung pasti panas dan bikin pori-pori wajah tertutup. Itu lagi, si Anton, ngegebuk drum kok pake gel rambut yang oily, keringetnya kan jadi berkilauan. Harusnya pake yang water-based aja.

Sejenak aku termangu. Astaga, mikir apa aku barusan? Tiba-tiba, bak anak indigo, aku mendapat bayangan masa depan ... begini ceritanya,

Setting: sebuah artist beauty center yang setengah level lebih rendah dibanding Eva Bunn.

Saat itu aku sedang duduk di sofa merah dekat resepsionis, tempat di mana seorang artis harus antre dan rela masuk waiting list jika kuota pelayanan salon bulan ini penuh. Dan itu yang biasanya terjadi di "Suka-suka Gw" beauty center ini. Jarum jam menunjukkan pukul 08.53.

Aku: "Tumirah, tolong lihat ke depan, siapa aja yang bola-bali ngebel salon kita,"
Tumirah: "Anu, Mas. Tadi sih manajernya Eva Arnaz datang, minta didahulukan. Katanya sih, kerutan di wajahnya nambah satu, tadinya 67 jadi 68..."
Aku: "Terus, maunya sana apa? Tak tambahin jadi 69 aja gimana? Asik loh posisi itu,"
Tumirah: "Posisi apa sih..."
Aku: "Posisi rumah dong, nomor 69, kaya salon kita. Ah, sudahlah, Tum. Kamu ini nggak nyambung. Kamu cek dulu aja si Eva Anjarwati itu, apakah sudah masuk list kita atau belum. Kalau belum, sampe keriputnya jadi 100 juga gak bisa kita ketok magic,"
Tumirah: "Baik, Mas,"

(menaruh majalah Prodo dan melenggang ke ruang tengah, tempat yang penuh dengan cermin dan steam rambut second)

Aku: "Pagi Parjo, halo Jeki, eh... Panut, sudah sehat kamu?"
Panut: "Sudah, Mas,"
Parjo: "Iya tuh Mas, sejak dibawa sama Thomas Djorgie, si Panut jadi panas dingin gitu,"
Aku: "Memangnya, kamu diapain aja, Panut?"
Panut: "Ya gitu Mas, suruh make up wajah. Tapi orangnya cerewet banget ya, Mas. Dipakein bedak tipis katanya kurang mulus, ditebelin katanya kaya ondel-ondel. Dipakein lipgloss katanya kurang shinny, dipakein lipstik, dibilangin kaya abis makan gorengan..."
Aku: "Harusnya kamu bilang aja sama dia..."
Bareng-bareng: "Make up your mind, gitu loh!"

Khayalan berhenti, tiba-tiba ada penugasan yang mengganggu.
To be continued....