Tuesday, December 19, 2006

mimpi buruk


senin, 18 Desember

sore hari berselimut awan. aku naik taksi menuju kantor, mendatangi panggilan yang membuat jantung dag-dig-dug. pamit ke teman dengan perkataan "kayanya gue dipecat deh". ternyata benar.

"Don't ask me. I'm still hoping it just a bad dream and wake up in Semarang." begitu sms yang kukirim buat seorang teman yang bertanya kenapa. memang aku tak tahu apapun kenapa mereka akhirnya memberhentikanku. alasan yang mereka katakan seperti formalitas yang malah menimbulkan banyak pertanyaan. pertanyaan yang tak bisa kukeluarkan dari dalam mulut saat mereka bertanya "Ada pertanyaan?"

aku hanya dapat menahan air mata, memasang senyum tempelan, dan berkata "Tidak ada," sambil menggelengkan kepala yang rasanya otak di dalam sudah tak bisa diajak bekerja. akupun langsung mengambil pulpen dari tas dan menorehkan tanda tangan yang menjadi lambang persetujuanku untuk mengakhiri kerjasama enam bulan di perusahaan itu.

memang marah, memang sakit, memang kecewa. tapi aku jadi tahu banyak hal: aku tahu sembilan sahabatku ternyata sangat mencintaiku. aku beruntung bisa memanggil mereka, orang-orang yang kuat, cerdas, dan gigih itu sebagai sahabat. mengingat kalian membuat aku tak menyesal pernah berada di sini.

untuk dua teman kotaku. maaf ya aku tidak bisa menemani lagi. kalian jangan menyerah ya. bersama kalian membuat aku bisa bertahan sebulan lebih lama di sini. kalian bisa kok. (bar)

Sunday, December 10, 2006

Akhir Segala Getir

Membuka amplop, takdirku tersurat : Bandung. Maka ke kota itulah langkahku akan tertambat, setidaknya begitu kurasa pada awalnya. Hari pertama tidak berjalan mulus. Sambutan tidak ramah yang kudapat dari rekan satu profesi, serta perintah atasan untuk langsung mencari berita. Semua membuatku terkejut dan sulit dicerna.
Hari-hari selanjutnya, makin kurasa buruk. Target berita yang dipatok padaku terlalu tinggi, tidak mungkin kupenuhi. Atasan yang gemar mencaci dan memaki, tidak mungkin berkenan di hati. Memulai hari dengan gundah dan mengakhirinya dengan rembesan air mata di sekujur bantal. Setiap hari mimpi buruk itu terus berulang dan tidak ada yang bisa kulakukan.

Hingga tak sanggup lagi raga ini merasakan lelah, dan tak dapat lagi rasa ini mencicipi sejumput bahagia. Semua terasa berat. Tidak lagi aku menggerutu karena Bandung yang macet, buntu! Tidak lagi mata ini melirik kiri-kanan menikmati indahnya Parijs Van Java, persetan! Tidak lagi lidah ini berkehendak meneguk yoghurt cisangkuy, mati rasa!
Semua kelam dan hanya satu yang masih bisa kurasa, Getir.

Hari ini tidak mungkin lebih buruk dari hari kemarin. Moto itu sempat menjadi penyemangatku beberapa saat. Aku merasa mulai bisa mengatasi rasa getir yang konstan, kebal sudah tubuh ini menerima tamparan dan pukulan. Rasa sakit yang mereka beri, sudah tidak berdampak pada tubuhku. Hingga suatu hari...

Shit : Ngapain kamu duduk aja di depan komputer?
Me : Saya sakit kepala sebelah, sakit sekali. Sebenarnya saya mau minta izin pulang tapi karena tugas besok sangat berat jadi saya paksakan mencari informasi awal di internet.
Shit : Kenapa kamu nggak nanya-nanya ke teman2 sambil nonton teve? Kalau alasannya pusing, semua orang juga pusing di sini!

Tidak kuhiraukan cacian itu. Aku tidak beranjak dari bangku dan mataku tetap tertuju pada layar komputer. Namun, darah ini mendidih, kepala rasanya mau meledak, dan ingin sekali kulayangkan tinjuku pada seseorang yang kusamakan dengan kotoran itu.

Shit : Ngapain kamu baca sastra?
Me : Karena saya anggap menarik.
Shit : Yang kayak gitu dikalahin deh, pingin ini pingin itu gak usah dulu. Nanti kmu gak bisa dapat semua. Tugas gak selesai dan gak bisa ngerjain apa-apa!
Me : Saya tidak merasa rugi membaca sastra. Dan kalau hanya itu yang bisa membuat saya senang, apa itu salah?

Sejak itu aku menjatuhkan vonis. Cukup sudah. Jika aku tidak ditakdirkan bahagia di tempat itu, maka ini harus diakhiri. Jika hanya getir yang boleh kukecap, maka sudahlah. Selamat tinggal!!! Sepuluh dari sebelas, kebersamaan yang kita rasa selama empat bulan sempat memberatkan langkahku untuk menarik diri. Namun aku sadar, sahabat tetaplah sahabat dan pastilah akan mengerti. Aku tidak pernah menyesali keputusanku, karena aku tetap memiliki kalian dalam kebahagiaan yang kurasakan kini.

Aku tetap Trixie yang kalian kenal, Guyz. Hanya saja, aku sekarang bisa tertawa. Seperti dulu ketika kita sering menghabiskan malam di Kafe Cheers, Mie Ayam Genther, atau anak tangga depan ruang diklat... Finally find myself!!!

December 11, 2006
TRIX

Friday, December 01, 2006

air di sudut mata


malam di depan komputer, ada waktu sejenak seusai menumpahkan berbagai informasi yang diburu siang tadi. meniti jaring dunia, membaca kabar kalian di jurnal elektronik. tak terasa air mengintip di sudut mata. beban dan sakit yang kurasa selama ini juga ada dalam diri kalian, bahkan mungkin lebih berat. ah, rasanya ingin menghambur ke yogya, surabaya, dan bandung untuk memeluk kalian, berbagi rasa dan air mata.
trix dan vir, jika kalian pergi rasanya di sini akan lebih berat. tapi apa daya? jarak membuat kita tak bisa lagi saling jaga dan menjadi penyangga di kala lutut melemas dan semangat terkuras. hanya kuping ini yang tersedia untuk mendengar segala kebimbangan itu. hanya bibir ini yang bisa berucap memberi semangat dan pendapat. hanya mata ini yang bisa terus memantau kabar yang tertulis di pesan telepon genggam dan jari yang membalas komentar. hanya itu tanpa kehadiran yang dapat memberi hangat. maaf.
kita tetap sepuluh dari sebelas, dimana pun kalian nantinya. hanya itu yang bisa kujanjikan.
sebenarnya ingin juga menapaki jejak kalian. ide itu terus terlintas terucap, disertai tangis dan sakit entah di mana.
pertengahan tahun lalu saat meninggalkan tempat dimana aku menjalani profesi yang telah membuatku jatuh cinta ini, tak ada sakit, tak ada air mata, tak ada rasa. dengan ringan kumenuliskan lamaran dan pergi melenggang. tapi sekarang... kenapa begitu berat? (bar)