Saturday, September 30, 2006

why.......?

Di tengah kesibukannku bersama teman-teman menggarap RETAS dan di ambang batas deadline,sebuah kabar datang padaku...Adikku kecelakaan...
meski hanya pingsan dan tangan kirinya terluka, tetap membuatku khawatir.
aku tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk termangu mengedit "gelandangan gangguan jiwa" dan "kijang"-ku
aku hampir seperti mereka...aku ingin lari seperti kijang pulang....
tapi, apa dayaku...(rom)

Sunday, September 24, 2006

coba ya!

kalo pasang iklan itu yang bener napa!

tau gak sih mereka tuh udah menipu banyak orang, termasuk gue!

katanya terbesar di indonesia... kok masang iklan aja salah.

katanya ralat itu gak boleh sampai terjadi karena orang jarang baca ralat.

trus kalo udah kaya gini gimana? gue kena tipu!

dan mereka akan mengatasnamakan: mau ditepatkan di seluruh indonesia

kalo emang monya gitu harusnya di iklan ditulisnya gitu dong! (BAR)

pingin pake bangeT

flap like a bird
jump like a fish
sit down,
stand up
wish!
wish!
wish!

(christopher robin--winnie the pooh)

ga mau awet muda
ga perlu kaya
ga kepikiran ketemu jodo

i just want this day to be over

:(

(vir)

Friday, September 22, 2006

Terungkap dan Telanjang

Pernah seperti ini?
itulah aku di ruang rapat sejak 15.30 - 16.25 WIB
22 September 2006
they-called-me-robin
belum pernah aku sepolos ini

sinau urip

sinau urip kuwi ora ana batese...
apa wae sing ana ning ngarepe awake dhewe ana maknane...

"Astagina asale saka asta=tangan lan gina=guna/berguna (tangan yang berguna). Maknane tangan iku gunane kanggo kerja ora kanggo sedakep lan mlangkrik." - Live in genteng Godean -

"meneng=diam...wening=hening/ngasah ati lan budi...dunung=mengerti" - saking Kanjeng Ratu Kenya Maria Jatiningsih -

aku seneng isa ngangsu urip karo sapa lan apa wae...
moga-moga ae isa mbangun smangat lan kakiyatan kanggo nglawan awake dhewe

Rama Kawula
Gusti Yesus
Kenya Maria
Sang Hyang Roh Suci
kakang kawah adi ari-ari
ewang-ewangono anggonku golek sanguning urip
kanggo sakkaluarga salawase
(rom)

Thursday, September 21, 2006

ha Ha HA


melayang di udara
bebas
...

silahkan menyiksa
menghina
menggosip

sebar semua
peduli tak peduli tetap begini
lalu
?

tetap berdiri
di sini
sendiri

pisau sudah tumpul
daging tetap alot
biar mereka bingung
terus saja ngotot


ha Ha HA
*tertawa kemenangan*
(BAR)

Wednesday, September 20, 2006

Hear but don't listen! (habis gimana dong...)

(obrolan pertama...)
PRJ: Jadi mas, kondisi warga disini memang menolak dibagi adil, kita mau semua dana dibagi rata, jadi tidak ada konflik...maka kita kondisikan agar pemerintah mau mendengar suara kita yang ada di kampung ini...sementara dari kepala dusun sendiri tidak mengkondisikan demikian...
BGZ: .........iya pak.......jadi kalau memang pemerintah maunya tetap dibagi adil?
PRJ: wah, pemerintah keterlaluan, karena kita dikondisikan seolah-olah dalam situasi konflik. Kondisi kita sudah susah begini tambah susah...sebaiknya kan pemerintah mengkondisikan kita agar tenang dan sesuai keinginan kita.
BGZ: (angguk-angguk)....

(makan malam pertama)
PRJ: bagaimana mas, ikut gotong royong, kan? kita mengkondisikan gotong-royong pada malam hari karena siang mereka bekerja...kita sudah buat beberapa kelompok dan mengkondisikan agar warga tidak terlalu lelah..tuan rumah juga membuat camilan dan teh agar kondisi kita tetap bugar...hahaha
BGZ: ...saya ikut lah, pak! trus bagaimana pembagian kerjanya?
PRJ: kita kan sudah dapat bantuan dari cindelaras dan uplink, jadi kita kondisikan warga agar membuat rumah yang menerima bantuan itu...nanti mas langsung ikut saja, kita kan sudah mengkondisikan masnya ikut kerja, mereka sudah tahu, kok. kita itu dikondisikan suka bergotong royong...dan kita juga....kemudian kita mengkondisikan....
BGZ: ...(sambil melihat metro hari ini)...iya...iya...oh, gitu ya, pak...ayo berangkat, pak!
PRJ: ayo! sepertinya belum mulai juga, kita kondisikan mulainya pas isya, jadi...mereka itu...kemudian...bawa linggsi dulu, kondisi tanahnya belum dalam...
-BGZ sudah menunggu di depan pintu rumah, setelah pamit sama ibu, Rin, dan Nung-

(pada suatu makan pagi)
PRJ: Saya itu dicap sebagai orang yang suka banyak omong dang suka protes. karena saya memang mengkondisikan agar warga dapat kemudahan, bukan disusahkan. karena kan kita mengkondisikan agar warga tenang, tidak banyak pikiran...
-BGZ melihat TV-
PRJ: ...jadi kita kondisikan dulu warga agar memahami masalah dana ini, sehingga...saya dengan warga RT 6 kompak, mas. kami selalu mengkondisikan...jadi tidak perlu dikondisikan macam-macam, kita langsung gerak...jadi setiap hari...
-BGZ melihat TV, ada Dewi Hughes yang belajar melukis-
PRJ: ...ya begitu kondisinya mas. Saya ngomongnya terlalu cepat ya, mas?
BGZ: (tersentak!) ah, nggak kok, pak...saya cuma lagi lihat Hughes lagi belajar melukis. Dia lepas jilbab habis cerai, stres kali ya, pak?
PRJ: ya itulah, mas! bisa jadi stress. sebaiknya kan dia tetap dalam kondisi berjilbab sehingga dia...kalaupun mau dia...kalau memang dikondisikan...
BGZ: (angguk-angguk sambil lihat Hughes)...he..he..he..

(pada suatu makan pagi lainnya)
PRJ: pak wagiman itu baik mas. dia suka bantu warga hingga rumahnya sendiri tidak dibangun. kita tidak pernah mengkondisikan dia agar tidak membangun rumahnya, justru kita mengkondisikan agar warga...jadi kita kondisikan dulu warga...kalau kondisinya sudah baik, warga bisa dikondisikan...rumahnya juga dikondisikan yang tahan gempa...
-BGZ makan dengan lahapnya, indra brugman lagi ngomong soal makna puasa di insert-
PRJ: ...jadi kita kondisikan agar warga...agar kondisi mereka...maka kami mengkondisikan demikian, mas.
-suasana hening, PRJ selesai bicara. Oh my god! harus bertindak!-
BGZ: disini orangnya keluarga-keluargaan gitu ya, pak! pak dasiman kakaknya pak wagiman tetanggaan. bapak sama ibu bapak tetanggaan.
PRJ: wah, memang kondisinya seperti itu mas. kita dapat orang sini, bukan sengaja dikondisikan, tapi orang kampung nggak pernah kemana-mana, makanya kita kondisikan warga agar rukun...sehingga kondisinya seperti...
-BGZ mulai tenang, kembali makan. kali ini lulu tobing dan cucunya soeharto, tetap di insert!-

...setelah beberapa lama sarapan...

PRJ: ..jadi kita kondisikan warga agar tetap mau bergotong royong...karena kondisinya...mengkondisikan...dikondisikan...kondisinya...terkondisi seperti itu...kondisi...
BGZ: (enough)...pak, kambing di depan punya bapak ya?
PRJ: wah iya mas, kambing itu saya beli waktu kondisi sebelum gempa dan...
BGZ: ayam-ayamnya juga ya?
PRJ: iya! saya pelihara mereka dari kondisi kecil sampai sekarang dan...
BGZ: wah, hebat juga bapak ya bisa beternak segala! hehehe...
PRJ: yah, kecil-kecilan mas, saya kondisikan rumah ini supaya rame...
BGZ: saya cuci pak piringnya!
PRJ: nggak usah mas, biar anak saya. saya kondisikan mereka supaya ada kerjaan sepulang sekolah...
BGZ: ah! anak bapak suruh maen aja, ngerjain PR, trus tidur, kasian mereka...(sambil terus cuci piring)...
-ibu teriak-teriak melarang BGZ nyuci piring, bapak cuma senyum-senyum aja melihat BGZ cuci piring sambil sesekali melarang-
BGZ: selesai! ayo berangkat pak!
PRJ: ayo! kita kondisikan agar penggalian tanah selesai, soalnya...
BGZ: ayo bu, salamolekom!

-BGZ-



Friday, September 15, 2006

enggan...


enggan rasanya meninggalkan ruang kelas ini menuju bantul....untuk hidup di sana selama lima hari....wuaaaaaa (maw)

jangan takut....

Robin......

do not be afraid......kita akan baik2saja...
yang pasti, meskipun jauh di mata, kita pasti dekat di hati...kabarin via sms yuaaa

ayo semangat!!!! Bantul, aku segera datang...wuakakakaka (lagi stres)

mari kita tebarkan kegilaan ke seluruh penjuru desa

(maw)

Good Night My Friends...


Gak tau kenapa, tapi malam ini sepertinya terasa amat berat, dan sepertinya kita semakin jauh. Semoga ini hanya perasaanku saja dan tidak ada yang terjadi dengan tiap-tiap dari kalian di luar sana.
Aku sebal! Kenapa harus bangun tengah malam dan khawatir berlebihan seperti ini.
they-called-me-robin

profil takut

namaku takut. umurku ya seumurmu. aku lahir tak lama setelah kamu mulai ada.
seperti suami siaga, kapan saja kau panggil, aku siap sedia.

dulu sekali, aku datang ketika kau mencuri mainan di sebuah plaza. ketika kau sudah pasti benar bahwa mbak-mbak di toko mainan dan ibumu tidak tahu, aku permisi pulang. kau mengikik riang.

bertahun kemudian, kita menjadi sohib kental, karib, dua sejoli, setiap pelajaran olahraga tiba. dribble, pivot, kayang, roll depan, roll belakang adalah mantra yang memanggilku. tapi pelan-pelan, kau menyingkirkanku.

berpuluh tahun, aku tetap setia. ketika kau duduk di balik meja wawancara, aku adalah kekuatan yang membuatmu mengenakan sepatu di kaki kanan dan sandal di kaki kiri. aku adalah letupan kentut yang tertahan. kini kau tergelak mengingat hari itu.

aku mengibu melahirkan ragu, gagal, dan anak-anak lain yang belum kuberi nama. aku makhluk paling bunglon dari bunglon yang paling bunglon. malam ini aku mewujud dalam tindakanmu membuang sisa-sisa jam dari keranjang waktumu. duduk-duduk di warnet, mengetuk-ngetukkan jari ikuti hentakan lagu jablai dan sms.

bertahun dari sekarang, bukan tidak mungkin kau mengingatku malam ini sambil tertawa. seperti tiap kali ingatanmu memanggil adegan ketika kau duduk di balik meja wawancara kerja, terpaksa main basket, dan mencuri mainan dulu. (vir)

setelah kekenyangan makan sambal tomat bawang dan mengutuki diri yang nggak tau wayang, filsafat, dan belum memetik kolor dari jemuran.

Thursday, September 14, 2006

romo sindhunata...

Hari ini ada beberapa kalimat yang terucap dari romo sindhunata yang nyangsang di pikiranku (jarang-jarang loh...hihi).

"Di dalam lumpur pun tumbuh bunga teratai"
"Hidup ini tidak sempurna..."
"Pers harus meledak dalam spontanitas"
dan yang terakhir : "Semoga kita bisa menemukan seseorang yang menyapa hati kita untuk mengungkapkannya..."

(maw)

Where Has "Rom" Gone?



Saat-saat kulelah kehilangan kekuatanku

(rom)

Live in?

Semua orang di kelas ini sedang hiruk-pikuk membicarakan kesiapan untuk "live in". Sementara seorang mentor sibuk memberi masukan di depan kelas, aku hanya duduk di pojokan. Termenung.

Mbayangin: kaya apa ya rasanya nyemplung ke sawah, ngubek-ngubek lahan lumpur basah untuk memancangkan bibit padi, pake caping? Mandi di pancuran, nyuci bareng ibu-ibu di saluran irigasi, ngusir burung yang doyan padi bareng bocah-bocah kecil, atau ngangon bebek dari kandang ke sawah lalu turun ke kali...

"Memangnya analisis berita itu kaya apa?" tanya maw yang duduk di sebelah gw.


"Apa?" tanyaku kaget.

Analisis berita? Apa itu... astaga! Aku terbuai lamunan. Tapi aku jawab sebisanya, meskipun gak gitu yakin juga... hehehe, sorry maw.

:P

they-called-me-robin

makan malam terakhir sebelum menghadap meja wawancara--yang memberi berbagai pencerahan--di ayam kremes kota baru, jogja. (14/09) (iju)

Mata dan Telinga Mereka

Ugh! ada mata-mata di belakang kita!
hei, hati-hati ada microchips di setiap komputer di depanmu!

waspada, kalau-kalau mereka memanjangkan telinga hingga menyentuh telinga-telinga orang di sekitar kita!

atau jangan-jangan ada recorder tersembunyi di setiap sudut ruangan ini atau itu atau di sana atau di sini? ah, kau tidak pernah tahu.

Bahkan kalau kau tenggelamkan stress itu di kolam renang, jangan-jangan ada seseorang berenang di dasar kolam dengan peralatan selam dan membawa kamera anti air. Hei! ingat ada alat perekam pula untuk air bukan? karena itulah suara paus dan lumba-lumba bisa dianalisis?

hmmm.....bagaimana analisis suara kita di dalam air? terbayangkah?

atau...kita adalah hasil culikan alien yang pantas dan harus untuk dipantau, menjadi objek penelitian para ilmuwan gila berbagai laboratorium tersembunyi di arizona?

-BGZ-

Bayangin aja deh

Alkisah di kelompok sepuluhdarisebelas ini ada empat wanita yang akan-sangat-bahagia-jika-kau-puji-mereka, namely: trix, bar, iju, and vir. Bersama mereka dan seorang pria yang akan-sangat-bahagia-jika-kau-memberi-dia-seporsi-makanan-ekstra, aku biasa menghabiskan waktu dengan berbuat selancang mungkin yang bisa kami lakukan.

Buat my cheers-gals, pilih deh salah satu yang kalian suka:

Buat si pria (a.k.a bgz), maaf, belum ada gambar yang sesuai... :P

they-called-me-robin

So lazy today...















Semalam, setelah sukses mencoreng moreng reputasi sebuah kafe di Selokan Mataram hingga tengah malam... masih ditambah lembur 3 jam berikutnya di warnet.



















Hasilnya? Ngantuk berkepanjangan hingga saat ini.
Untunglah acaranya nonton film. Kantuk hilang, tangis datang.

Hidup memusingkan.

they-called-me-robin

Wednesday, September 13, 2006

Gantole, Nila Bakar, dan Hotel Melati

Tiga hari di Wonogiri. Ada Kejuaraan Nasional Gantole 2006. Ada ikan nila bakar dan goreng di mana-mana. Ada juga hotel-hotel melati yang pendapatannya diperoleh dari penyewaan kamar “jam-jaman”. Tiga hal itu yang meninggalkan kesan tersendiri saat saya di Wonogiri untuk liputan luar kota selama tiga hari (21-24 Agustus).

Selain tiga itu, dari kabupaten yang luasnya 1.822 kilometer persegi saya membawa pulang dua tulisan yang sulit sekali diselesaikan, kacang mete dan cemilan lainnya, belang akibat sinar mata hari di kulit muka dan kaki, serta rasa sebal karena pelecehan seksual.

Saya pergi ke Wonogiri naik motor bersama Hendry, rekan tandem saya. Berkat kenekatan dan gaya mengendarai motornya yang sering mencapai 100 km/jam, jarak Yogyakarta-Wonogiri dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Kami tiba di kawasan kering yang terkenal dengan gapleknya itu sekitar pukul 10.30 WIB.

Tujuan pertama kami adalah mencari penginapan untuk meletakan barang-barang bawaan agar dapat bekerja lebih bebas. Pilihan saya jatuh pada Hotel Melati Tiga Sendang Asri yang menetapkan tarif Rp 85.000 per malam. Itu harga kamar termurah. Bila melihat fasilitas yang hanya menyediakan tempat tidur, kipas angin, dan kamar mandi, harga itu menurut saya mahal. Tapi, dengan pertimbangan jaraknya yang hanya sekitar 100 meter dari lokasi liputan saya: Taman Wisata Waduk Gajah Mungkur, kamar itu saya ambil.

Setelah itu kami langsung masuk taman wisata. Saat itu hari libur. Pengunjung ramai. Ternyata di sana sedang dilangsungkan pembukaan Kejurnas Gantole. Melihat itu, saya langsung mendapat fokus tulisan feature: wisata dirgantara. Dari saya kami keliling Kota Wonogiri, mencari lokasi pemkab dan dinas-dinas yang terkait dengan rencana tulisan kami.

Sehabis makan siang di warung ikan nila bakar, kami memisahkan diri. Ikan bakarnya gurih ditambah sambal terasi yang segar dan menambah selera makan. Sepanjang jalan raya Sendang-Kota memang banyak restoran ikan nila goreng/bakar yang menggoda, tapi kami memilih makan di warung sederhana karena dekat dengan penginapan dan ada tambang batu di sebelahnya, fokus tulisan Hendry. Hari kedua akhirnya saya bisa makan di restoran ikan bakar, ditraktir Mas Max yang datang bersama Mas Cahyo.

Karena Hendry sudah kembali ke Kota, menemui teman pastornya, sore itu saya jalan-jalan sendiri. Saat itulah terjadi hal yang hingga kini membuat saya sebal.

Saat sedang berjalan sendirian keliling waduk dengan tujuan melihat-lihat keadaan, saya melewati dua orang laki-laki yang duduk di dekat motor mereka. Mereka memanggil saya, "Mbak!" Saya menoleh dan memasang senyum ramah. Saat itu saya baru melihat muka mereka dengan jelas. Mata mereka merah, muka kusut, saya menduga mereka mabuk.

Saya takut dan langsung berjalan dengan kecepatan “gigi empat”.

Ternyata mereka mengikuti saya dan mengajak naik motornya. Mereka mengatakan akan mengantar saya ke manapun saya mau. Saya langsung pasang muka judes. mereka tetap membuntuti dan terus berbicara dalam bahasa Jawa tidak saya mengerti. Bukan karena saya tidak bisa bahasa Jawa, tapi karena mereka berbicara tidak jelas, seperti orang mabuk.

Rasa takut semakin memuncak. Akhirnya saya masuk ke warung, membeli teh botol dan bercerita pada bapak penjaga warung, “Ada dua laki-laki aneh mengikuti saya dari tadi.” Si Bapak hanya bengong. Mungkin dia bingung. Saat dua orang mabuk itu sampai di warung, mereka marah-marah pada si Bapak. Si Bapak tetap diam saja.

Sepuluh menit saya di sana. Dua orang itu akhirnya pergi juga. Baru setelah itu saya bisa berbincang-bincang dengan Bapak Warung. Saat saya bilang saya akan naik bis saja untuk kembali ke hotel, dia bilang “Dekat kok, jalan saja. Mereka memang begitu. Tidak apa-apa kok.” Saya kembali berjalan-jalan, pulang naik bis.

Daerah di situ emang "seram". Saya melihat “mobil goyang” berkaca bening, live, jam setengah lima sore di parkiran taman wisata. Padahal, di sana masih ada orang. Tak lebih seratus meter dari situ masih ada orang yang berladang, beres-beres warung, atau orang seperti saya yang salah jalan dan dapat melihat mereka dari jarak tiga meter.

Kamudian malamnya, saat saya ngobrol dengan Mas Andi, penjaga hotel, di bilang, "Jangan di luar, Mbak. Nanti kalau ada yang nawar, bagaimana? Daripada tersinggung, lebih baik di dalam kamar saja."

Banyak lagi pelecehan yang saya alami. Mungkin bagi kebanyakan perempuan, teriakan, panggilan, dan tawa laki-laki saat kita lewat itu pujian, tapi bukan bagi saya. Entah kenapa di Wonogiri saya merasa semakin sering dilecehkan. Kalau itu terjadi di Jakarta akan mudah. Saya bisa membalas dengan kata-kata umpatan dan kemarahan saya dapat tersalur. Di sana saya sama sekali tak bisa berkutik. Hanya bisa senyum atau meringis tak jelas, karena kalau saya mengumpat akan kacau. Bisa-bisa nanti saya langsung diusir dari sana, atau disekap, diperkosa, dan semua bayangan seram lain yang ada di kepala. (bar)

Selamanya Tetap Cinta Laut

Saya sangat antusias ketika mendapat penugasan ke Kota Cilacap yang memiliki banyak pantai. Jika ada tempat di muka bumi yang selalu ingin saya kunjungi, pastilah itu adalah pantai. Sebelum berangkat, saya sudah membayangkan hamparan pasir lembut dengan suara deburan ombak yang menyentuh bibir pantai.

Selain menyaksikan keindahan pantai, saya sangat berharap bisa ikut tandem melaut bersama nelayan tradisional. Selama ini saya hanya mendengar tentang kehidupan mereka yang penuh penderitaan, tapi tidak pernah saya buktikan.

Ternyata Kota Cilacap sangat luas, 226.360 hektare. Jarak antara satu lokasi liputan dengan yang lainnya sangat berjauhan. Fokus liputan saya dan seorang rekan seperjalanan yang sama-sama calon wartawan Kompas, Intan adalah tentang pemulihan kondisi perikanan dan pariwisata pascatsunami.

Saat berkunjung ke berbagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI), saya berkenalan dengan seorang nelayan di Pantai Teluk Penyu, Jamjam (45). Dia mengizinkan saya turut serta melaut. “Jangan menangis ya Mbak. Ini bukan perjalanan untuk bersenang-senang,” kata bapak lima anak itu.

Akhirnya kesempatan untuk melaut itu datang baru pada hari ke tiga. Padahal kami juga harus bertolak menuju Pulau Nusakambangan untuk meliput kehidupan para sipir penjara. Karena keterbatasan waktu, kami berbagi tugas. Saya melaut dan Intan ke Pulau Nusakambangan.

Pada Selasa (22/8) malam, saya menginap di rumah Jamjam. Saya tidur berdua dengan putrinya, Tria (19). Dinginnya udara yang menyusup lewat celah-celah dinding bambu tak mengusik nyenyaknya tidur kami. Di ruang tamu, dengan beralaskan tikar, Jamjam mengobrol dengan rekan melautnya, Parta (41).

Pukul 02:30, Jamjam membangunkan saya untuk segera bersiap pergi melaut. Ingin rasanya saya berkata, “Pergi saja sendiri, saya ingin tidur.” Tapi tetap saja saya harus bangun, mencuci muka, dan minum segelas oralit agar tak mabuk di laut.

Setelah mengenakan jaket tebal, topi, dan jas hujan, kami berangkat bertelanjang kaki menyusuri jalanan berpasir menuju pantai. Dinginnya udara pagi langsung menyergap. Saat tukang tarik perahu datang, Jamjam melarang saya berbicara. “Biar mereka menyangka kamu pria,” kata Jamjam. Suasana remang-remang di pantai ternyata mampu menyembunyikan identitas saya.

Setelah mesin perahu terpasang, mereka mengizinkan saya naik ke atas perahu berukuran 9.5 X 1 meter itu. Begitu perahu melaju, air laut menerjang ke seluruh sudut perahu. Seluruh badan saya basah kuyup. Cahaya cakrawala dan bintang-bintang yang berkelip di angkasa menyajikan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Tiga jam perahu melaju untuk mencari udang di perairan sekitar Pulau Srandil. Perlahan-lahan kabut yang menutupi gugusan Pulau Srandil dan Pulau Nusakambangan mulai menghilang. Bulatan matahari muncul di ufuk timur, menampakkan cahayanya yang kemerahan. Kami menikmati nasi rames dan pisang sebagai menu sarapan sambil memandangi keindahan sang mentari.

Matahari terus bergerak, cahayanya yang merah mulai menghangat hingga sangat terik. Hawa dingin pun berganti menjadi panas terik yang menusuk kulit. Tapi, tak sekalipun semangat kedua nelayan itu kendor. Kami terus menarik jaring yang berat itu. Namun hasil melaut kali ini mengecewakan. Sepuluh jam kami mengarungi samudera, tapi hanya memperoleh 1 kilogram udang dan 2 kilogram ikan.

Siksaan terberat yang harus saya alami adalah menahan buang air kecil selama sepuluh jam. Selain itu pada pukul 09:00, tiba-tiba saya datang bulan. Padahal saya tidak sempat membawa pembalut.

Namun yang cukup membanggakan adalah ketika kami pulang. Beberapa warga di perkampungan nelayan mengaku kagum karena saya kuat melaut dan tidak mabuk. “Wah kendel, kita aja nggak pernah berani melaut,” kata salah seorang ibu.

Saya hanya tersenyum sambil menahan rasa mual, pusing, dan kulit yang terbakar. Ingin rasanya segera mandi dan membaringkan diri. Ketika Jamjam menawari untuk ikut melaut lagi esok hari. Saya buru-buru menjawab, “tidak!” (maw)

Berburu Belimbing di Kota Wali

Apa yang terpikir ketika mendengar kota Demak? Bisa dipastikan tak jauh-jauh dari Masjid Agung Demak, Kota Wali, Sunan Kalijaga, dan juga belimbing!

Belimbing demak yang terkenal sebagai komoditas unggul saat ini sulit ditemui bahkan di kota asalnya, Demak. Pasalnya, petani berbondong-bondong mengganti belimbing dengan jambu.
Saya bersama seorang rekan akan bertemu para petani di Demak untuk mengetahui mengapa mereka rela mengganti buah bintang itu dengan jambu dan berbagai seluk beluk perbelimbingan di sana. Terima kasih kepada “kakak” Google, kami berhasil menghimpun berbagi informasi tentang belimbing demak, termasuk sentra pembudidayaan belimbing di Kelurahan Betokan. Minggu (20/8), kami bertolak dari Yogyakarta menuju Kota Wali.

Perjalanan ke Demak ditempuh selama enam jam. Kami harus singgah dulu di Semarang karena bus PO Nusantara yang langsung ke Kudus dan melewati Demak berangkat pukul tujuh pagi. Sedangkan kami bertolak dari Yogyakararta pukul sepuluh pagi. Tak apa, toh, Semarang-Demak hanya memakan waktu setengah jam dengan bus kecil jurusan Purwodadi.

Sekitar pukul setengah empat sore kami tiba tepat di depan Masjid Agung Demak yang tersohor seantero nusantara itu. Usai menikmati nasi pecel kaki lima sebelah utara masjid – yang mulanya kami kira sebagai nasi mawut – kami langsung menuju sentra pertanian belimbing di Demak, Desa Betokan, yang hanya ditempuh beberapa menit dengan becak. Namun, si abang becak mengantarkan ke Desa Singorejo, tetangga Desa Betokan, yang masih masuk Kelurahan Betokan

Tapi...tunggu dulu, Betokan sentra belimbing demak? Lha, mengapa sejauh mata memandang jambu air semua? Mana belimbingnya? Kami pun menanyakan beberapa pedagang di sana. Semua jawaban nampaknya mengarah pada satu benang merah: secara ekonomis, jambu lebih menguntungkan daripada belimbing, tidak sebanding dengan perawatan belimbing yang sulit. Sambil berdiskusi di atas becak mengenai angle dan lead, menjelang maghrib, kami kembali ke basecamp: Masjid Agung Demak.

Malam Isra Miraj – kebetulan, Senin (21/8) esok hari adalah hari libur memperingati Isra Miraj – kami habiskan di pekarangan sebelah barat Masjid, sambil memperhatikan orang-orang lalu lalang, keluar masuk pekarangan untuk berziarah di makam raja-raja Kesultanan Demak, seperti Raden Patah, Dipati Unus, dan Sultan Trenggono. Sesekali kami bertanya kepada para pezirah tentang apa yang mereka dapatkan setelah berziarah, mengapa mau berziarah ke sini, berapa kocek yang harus dikeluarkan, dan lain-lain.

Tanggapannya berbeda-beda. Seorang ibu berbaju hitam dan berkerudung merah malah lari terbirit-birit ketika saya coba dekati dan bertanya basa-basi sebagai pembuka. Tetap saya kejar Ibu yang datang dari Surabaya itu. Terjadilah aksi lari berbirit-biritan antara saya dan si Ibu menyusuri gang kecil yang penuh pedagang cinderamata di kanan kiri, menyeruak dari sesakan orang-orang yang berjalan.

Dengan bantuan Iwan, seorang penjaga kedai makan yang baru dikenal ketika sampai di Demak, sekitar pukul 23.00 kami diantar ke Hotel Sederhana, 500 meter sebelah utara alun-alun Masjid Agung.

Senin (21/8) pagi, kami menyempatkan ke Pasar Bintoro, berbincang dengan para pedagang belimbing yang mengaku menjual belimbing demak asli, yang setelah kami tunjukkan ke seorang petani di Desa Betokan semuanya berasal dari Blitar, Jawa Timur. Kami tertipu...

Siang hari kami mengunjungi petani di Desa Betokan yang juga sudah mengganti belimbing dengan jambu sebelum ke Desa Ploso, Kecamatan Karangtengah. Petani Desa Ploso ternyata masih banyak yang menanam belimbing, tidak seperti Desa Betokan dan Singorejo. Air adalah kendala utama petani belimbing di Desa Ploso. Mereka juga mengatakan Dinas Pertanian setempat tidak pernah memberikan perhatian khusus bagi mereka, seperti pemberian pompa air diesel untuk terus menyirami tanaman belimbing walau musim kemarau sekalipun.

Malam hari kami pindah ke penginapan di sekitar Masjid Agung tempat para pezirah biasa menginap. Dekat dari basecamp dan Murah, hanya Rp 20.000, tanpa kasur, hanya bergelar karpet, dengan penjaga tiga pemuda belasan tahun asal Bonang yang mengaji sepanjang hari.

Selasa (22/8), saatnya ke dinas-dinas pemerintahan setelah sebelumnya mereka “cuti” panjang karena libur Isra Miraj. Ironis, karena menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Demak Muhamad Yusuf, pihaknya selalu memberikan penyuluhan kepada petani. Sedangkan pengairan bukan masalah karena para dia yakin para petani sudah memiliki seluruh pelaratan pompa diesel itu.

Dengan sepeda yang dipinjamkan oleh Iwan, kami juga bertemu Kepala Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak, berbincang masalah pengembangan pariwisata Demak dan rencana agrowisata belimbing dan jambu di Betokan. Sepeda kumbang dan federal yang saya dan teman saya naiki juga membawa kami kembali ke Betokan untuk bertemu Karmono, petani yang sudah mendapat penghargaan dari pemerintah Jepang atas usahanya membudidayakan belimbing. Penghargaan itu berupa pemavingan jalan desa yang melewati kebun dan rumahnya. Dia benar-benar hidup untuk bertani.

Rabu (23/8), kami mengunjungi makam sunan kalijaga di Kadilangu yang selalau ramai oleh peziarah dari berbagai daerah untuk bertemu dengan keturunan XIV Sunan Kalijaga. Apa yang ada di benak saya adalah orang tua itu pasti sangat kejawen, renta, pakai blangkon, konservatif. Tapi sosok Muhamad Soedyoko yang tua itu tak seperti yang kami kira. Wawasannya luas, pikirannya terbuka, sangat menghargai akulturasi Islam dan kejawen. Pernah kuliah di Leiden dan Harvard!!

Kami berbincang soal banyak hal, mulai dari belimbing dan Sunan Kalijaga, akulturasi, sampai rumah berarsitektur Jawanya yang sangat teduh, seolah mengajak para pendatang untuk melepas penat, sekedar duduk, beristirahat sambil ngobrol dengan si pemilik rumah. Sangat nyaman...

Malam hari, ditemani sebungkus martabak dari Iwan, suara ngaji para santri di penginapan, dan desingan nyamuk yang enggan menghisap darah – terima kasih kepada Sofell, obat anti nyamuk oles – kami mulai merangkum secara kasar apa yang sudah didapat selama empat hari di kota yang terapit dua raksasa, Kudus dan Semarang.

Kamis (24/8) pagi-pagi sekali, kami sudah harus kembali ke Yogyakarta. Bus yang membawa kami, PO Nusantara kali ini langsung dari Kudus ke Yogyakarta, tidak melewati Semarang. Rekan saya tidur pulas hingga menganga, tetapi saya tidak bisa tidur dan memilih melihat pemandangan di luar. Mana tahu tiba-tiba Borobudur terlihat di Magelang...Lho?!! (bgz)

Batu, Pasir, dan Yoga

Batu, Pasir, dan Yoga

Pukul 10 pagi, saya dan Yoga tiba di Muntilan. Tanpa banyak bicara, kami langsung mencari angkutan umum yang akan mengantarkan ke penambangan Kali Putih.

Kali Putih yang ada dalam bayangan saya adalah sungai besar dengan bebatuan di tengah-tengah. Pasir melimpah di tepian sungai. Penambang-penambang yang berjejer mengangkut pasir ke dalam truk besar dengan pantat truk bertuliskan dari “Kutunggu Jandamu” hingga gambar-gambar perempuan dan keindahan dunia ala para pengendara truk tersebut.

Nyatanya, bayangan tinggal bayangan, karena sungai yang disebut Kali Putih berukuran tak lebih dari 1 meter. Ia lebih cocok disebut selokan ketimbang sungai. Airnya tak deras, pun tak tampak satupun penambang berkeliaran di sana.

Belum habis kebingungan kami, seorang warga menyarankan untuk ikut mobil besar sampai ke tempat penambangan yang sesungguhnya. Mobil besar yang ia maksud ternyata truk.

Maka kami memberhentikan truk pertama yang lewat, yang ternyata adalah truk Volvo merah tahun 1970 yang jalannya “ogrok-ogrok”. Untuk ikut pun, kami terlebih dulu harus memanjat badannya setinggi 3 meter. Pertama harus memijak ban truk yang tingginya sedada saya, lalu memijak bolongan-bolongan kayu di pinggiran badan truk, langsung melompat ke dalam truk tadi. (..sekarang saya tahu fungsi permainan tangga raksasa di outbound kemarin)

Setelah masuk pun, kami masih harus terkesima dengan jalannya yang berliku-liku, dan berbatu. Menyiapkan tubuh untuk dibanting kanan-kiri, depan belakang. Memegang apapun yang bisa dipegang dengan kencang. Lalu berhati-hati pada bolongan-bolongan di dasar truk, agar kaki tidak terseok masuk ke dalamnya.

Di sanalah saya, dengan jaket putih krem yang baru berumur sehari. Baju hitam bertuliskan Kafka-Prague yang pastinya tidak berbunyi di sana. Rambut bersih yang baru dicuci pagi tadi. Memegang kencang-kencang badan truk, agar tidak terlempar keluar.

Semakin ke atas, tumbuhan semakin jarang. Debu semakin senang mengepul beterbangan. Mata sedikit-sedikit silau dan tenggorokan kering. Tapi pemandangannya luar biasa. Jatuhnya sinar matahari ke Merapi membentuk siluet. Merapi hanya terlihat samar-samar karena kabut debu yang tebal. Ia tampak dekat, tapi terasa sangat jauh.

Perjalanan ke Kali Putih memakan waktu sekitar satu jam. Kami turun bersama para penambang, dan melihat cara kerja mereka. Di tanah pasir yang tampak tak berbatas itu hanya ada kami berenam.

Setiap penambang memiliki kisah menarik, yang jika dituliskan, bisa menjadi cerpen bersambung—satu orang mantan supir komandan yang terlibat PKI, seorang lainnya baru lulus sma—setiap orang dengan masa lalunya sendiri-sendiri.

Setelah berbagi makan siang berupa donat bekal dari Yogyakarta, saya dan Yoga memutuskan untuk pergi duluan. Ternyata konsekuensi dari keputusan itu sangat berat. Kami harus melalui jalan bebatuan yang tampak siap longsor tiap saat. Gunungan batu dan pasir harus dilewati, salah pijakan, batu bisa longsor, kami berjalan tanpa kepastian: apakah kita berada di jalan yang tepat?

Kami bertemu dengan beberapa penambang batu yang memberi petuah-petuah di jalan, seperti: “Jangan terlalu banyak tertawa, karena ada nenek lampir yang suka ikut tertawa juga.” Maka kami berjalan terus, berjalan terus mengikuti ingatan-ingatan pagi tadi tentang arah dan kelokan.

Waktu satu jam lebih terasa seperti sehari. Jika mendadak hujan, maka material Merapi akan hanyut hingga tempat kami. Membentuk Kali berwarna putih berisi batu dan benda vulkanik lainnya.

Hari mendung, kami bahkan belum sepertiga perjalanan. Akhirnya kami kembali menumpang truk lain yang kebetulan lewat; meski Yoga terpaksa menyempil di belakang truk di tengah-tengah pasir.

Hari itu berakhir sukses. Kami mencari penginapan di daerah Muntilan, yang lebih tampak seperti penginapan hantu. Bangunannya besar, masih bergaya sangat pecinan. Dalamnya tampak gelap, karena magrib itu tak satupun lampunya dinyalakan. Lobi terisi hanya dengan beberapa kursi dan meja yang bergaya kuno. Di tengah-tengah, satu meja kayu besar untuk resepsionis. Tak ada yang menunggu di sana, kecuali peta yang kusam dan burung Garuda Pancasila.

Karena kami sudah terlalu takut, sebenarnya kami ingin menyewa satu kamar, namun sayangnya, karena kami bukan mukhrim, kami ‘dipaksa’ menyewa dua tempat. Terlalu ketakutan, saya dan Yoga selalu berteriak-teriak lintas kamar. Kami selalu ke kamar mandi bersama, lalu menghabiskan malam membersihkan wajah dan memasang masker agar tidur malam jadi lebih cepat dan nikmat.

Selama perjalanan dua hari ke depannya, beberapa kali perkiraan meleset. Kami harus menyeberang sungai Pabelan yang tak berjembatan. Bak pemanjat gunung Merapi, kami naik turun di antara pepohonan rindang. Melewati kuburan yang sepi tanpa penerangan sedikit pun. Senter yang tiba-tiba padam, dan aliran air yang mendadak berhenti. Membagi ojek bertiga malam-malam.

Kami bertemu dengan banyak sekali orang baik. Mereka yang menawarkan tumpangan. Yang memberi arah jalan dan bahkan mau mengantarkan. Banyak manusia dengan kesederhanaan luar biasa. Dengan sikap nrimo, dan ketegaran menjalani hidup yang terkadang naik, seringnya turun itu.

Namun, yang paling berkesan bagi saya adalah seorang ibu bernama Tamiyem. Usianya mungkin mendekati kepala 6 bahkan 7. Badannya kecil, punggungnya membungkuk karena terlalu sering membawa beban yang berat. Ia masih sigap berjalan naik turun dan melewati sungai. Hanya beralaskan sendal jepit, arus sungai dilewatinya dengan mudah, padahal saya dan Yoga sudah kesusahan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh, sementara saya menjaga agar sendal saya tak turut seretan air sungai.

Komunikasi saya dan Tamiyem terhambat, karena ia tidak menguasai bahasa Indonesia. Sebaliknya bahasa Jawa saya juga sebatas mengerti tanpa bisa berbicara balik, apalagi dengan kromo. Tapi binaran matanya mengatasi semua. Ketika kami tiba di tempat tujuan, Yoga dan saya mengeluarkan bungkusan berisi kue-kue brownies kecil. Pertama ia menolak menerima, bersikeras menganggap itu tidak perlu. Namun, ia lalu menerima dengan mata yang berbinar-binar, yang sinarnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata—setidaknya saya tidak bisa menggambarkannya.

Ketika kami bertemu dia lagi, ia tengah memakan satu brownies, lalu tersenyum lebar. Matanya bagus sekali. Terasa semangat hidup dari matanya. Mendadak ia tampak seperti mata gadis kecil yang mendapat lolipop pertamanya. Ia tampak bahagia. (iju)

Dari Belimbing Sampai Religi

“Nak, kata orang kalo udah ke Masjid Agung Demak sama aja udah pergi haji ke Mekkah.”

Begitu bunyi pesan singkat ibunda sesaat setelah saya mengabarkan soal penugasan ke Demak, lucu juga. Semula saya terfokus pada pengumpulan bahan tentang belimbing, seperti tertulis dalam TOR penugasan, dan hanya sedikit mencari tahu soal masjid agung berikut penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Namun, SMS dari ibunda membuat saya sangat penasaran. Demak memang identik dengan ke-islam-an dan saya tidak ingin membuang kesempatan pergi ke Demak tanpa membuat sebuah tulisan tentang aspek religi yang demikian kental di Kota Wali itu.

Hengkang dari Yogya Minggu (20/8) pagi. Sekitar pukul 10.00 WIB saya bersama teman seperjalanan, Maruli, naik bus tujuan Semarang. Dari Semarang kami melanjutkan perjalanan ke Demak. Ternyata Demak-Semarang hanya butuh waktu 30 menit.

Pukul 15.30 WIB. Kami sampai di Demak, tujuan pertama: Masjid Agung! Tapi ternyata dorongan cacing dalam perut lebih kuat daripada keinginan kami untuk memasuki masjid kali pertama. Akhirnya, kami putuskan untuk menjejakkan kaki di warung makan kecil tepat di samping masjid agung. Di warung itulah kami berkenalan dengan Iwan, tokoh yang akan sering sekali muncul dalam cerita ini.

Dari Iwan kami tahu bahwa sentra belimbing demak terletak di Desa Betokan, tidak jauh dari pusat kota. Kami memutuskan untuk langsung mengunjungi desa itu, meski matahari sudah bersinar malu-malu di sebelah barat. Tancap!!

Sepulangnya kami dari Desa Betokan, azan maghrib berkumandang dari pengeras suara masjid agung. Usai shalat, kami bertemu dengan seorang ustadz yang memberi banyak pengetahuan seputar Masjid Agung Demak dan akulturasi Islam-Hindu di Demak. Sempat juga kami berbincang dengan peziarah yang malam itu memadati setiap sudut masjid. Tidak terasa malam sudah amat larut dan kami belum punya tempat untuk berbaring dan memejamkan mata.

Iwan merekomendasikan sebuah losmen bernama “Sederhana” yang benar-benar sederhana, Rp 30.000 untuk sewa satu kamar semalam. Karena sudah amat lelah dan ingin lekas tidur, tanpa pikir panjang kami mengiyakan.

Keesokan harinya, kami habiskan dengan mengunjungi petani belimbing di Betokan dan Ploso-Karangtengah. Perjalanan ke Ploso penuh petualangan. Pembangunan jembatan menuju desa itu membuat kami harus ekstra hati-hati karena setiap saat truk pengangkut material bisa menabrak kami. Jembatan goyang adalah rintangan selanjutnya. Ngeri juga, berjalan di jembatan yang sangat tidak stabil dan jurang menganga di bawah kaki.

Untuk keluar dari Karangtengah pun tidak mudah. Tidak ada becak, angkutan umum jarang, kesimpulannya kami harus menumpang truk. Naik truk, disambung angkutan umum, terakhir kali becak. Hari yang melelahkan namun begitu membangkitkan gairah. Malam harinya, kami memutuskan untuk mencari penginapan baru, yang lebih dekat dengan masjid. Iwan langsung menunjuk sebuah rumah yang biasa dijadikan tempat singgah sejenak para peziarah, tarif sewa semalam Rp 20.000 per kamar. Setuju!

Selasa (22/8), saatnya menemui para birokrat. Menaiki sepeda milik Iwan, kami menjelajah Kota Demak. Setelah urusan dengan Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata selesai, kami kembali bersepeda ke Desa Betokan. Bertemu Karmono, petani yang berdedikasi tinggi.

Rabu (23/8), ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Itu saja belum cukup. Kami bertemu dengan keturunan Sunan Kalijaga, Soedioko. Seorang kakek sembilan cucu berusia 80 tahun dengan pemikiran yang sangat modern, terbuka, dan peka terhadap perubahan. “Pak Soedioko, I Love You,” ucap saya sebelum beranjak dari kediaman beliau sambil melambaikan tangan.

Malam terakhir di Demak. Saya dan Ruli berencana menghabiskan malam itu untuk berdiskusi dan membuat kerangka tulisan. Sebelum mulai menulis, kami mampir membeli martabak di depan Pasar Bintoro. Mata mengerling ke sebuah gapura bertuliskan, “Demak Kota Wali.” Di bawah tulisan itu terdapat papan reklame rokok berukuran raksasa dengan model seorang wanita memakai tank top dan celana mini. (trix)

Menyeberang ke Nusakambangan

Bunyi kelatak-kelatak dari mesin perahu compreng menuju Nusakambangan menenggelamkan sisa-sisa rasa berani yang saya miliki. Takut sekali saya pagi itu. Barangkali karena harus “menyamar”, atau karena ada alat perekam di saku, atau karena pergi dengan laki-laki yang baru dikenal, dan ia bersenjata, dan ia menawari menginap di sebuah rumah kosong di pulau penjara.

Laki-laki itu, namanya Ari, 27 tahun, sudah 6 tahun menjadi sipir Permisan, penjara paling ditakuti di Nusakambangan. Ia berpesan bahwa kami harus saling menjaga. Yang harus saya ingat: tidak boleh banyak bertanya kalau di sekitar banyak petugas, tidak boleh lupa bahwa saya adalah kawan adiknya dari les bahasa Inggris di Depok, dan, yang terberat, tidak boleh terlihat mencatat.

Setibanya di Sodong, gerbang Nusakambangan, kami menunggu mobil di warung kopi. Teman-teman Ari pura-pura batuk tiap kami bersalaman. Mereka menganggap saya pacar gelapnya yang kesekian. Namun, ada satu komentar yang membuat saya terhenyak, “Kok bajunya hitam-hitam, jangan-jangan wartawan, ya?” Lutut saya melemas. Untung adegan itu tak berlangsung lama karena Ari meyakinkan bahwa saya adalah teman adiknya, Fitri, yang ingin dolan ke Nusakambangan.

Pukul 9, kami menumpang ambulans naik ke atas. Perjalanan sekitar 20 menit di atas jalanan yang tak rata, terakhir diaspal tahun 1980-an menurut sopir yang menyetir sambil memangku cucunya. Ari lalu meminjam sepeda motor kawannya. Saya minta langsung dipertemukan napi, tapi mereka masih bekerja. Akhirnya kami melaju ke ujung Permisan, melihat pinggiran Pasir Putih yang tersapu tsunami. Ketika saya mengambil gambar, Ari berkata pada sekitar, “Hasan, numpang-numpang ya!” Hasan dan Wilem adalah napi yang meninggal digulung ombak tsunami bersama 20 orang lainnya.

Kami lalu masuk ke “Penjara SMS” atau penjara super maximum security yang pembangunannya sedang dirampungkan. Bedanya dengan penjara biasa: ada kawat yang dialiri listrik mengelilingi pagar (di 4 penjara lain juga ada, namun sudah tidak difungsikan), lapisan baja dalam tembok, tiap sel bisa dilihat dari lantai atas sehingga napi nyaris tidak punya privacy, tidak memakai kasur karena dapat digunakan untuk bunuh diri. Gengsi para sipir akan naik jika berhasil lolos seleksi untuk bertugas di situ.

Keluar dari penjara SMS, motor kami diberhentikan petugas. Kami ditanya apa keperluannya, apakah mengambil gambar atau tidak. Tenggorokan saya tercekat membayangkan ia akan mengambil kamera, mengusir saya, memecat Ari. Untungnya, kami dibiarkan lewat.

Dari penjara SMS, saya mulai berbincang-bincang dengan para napi di bawah pohon. Mereka sedang istirahat setelah mencari pasir, berkebun, mencuci mobil. Saya tertarik mengamati kegiatan mereka di luar penjara ini. Safizan menumis sayur dan merebus mi di dapur, padahal ketika masih menjadi preman Cimone, Tangerang, ia tidak pernah menginjak dapur. Lalu seorang napi dari Jakarta Utara, cerah wajahnya saat saya tawari menulis surat untuk saya poskan ke saudaranya di Jakarta. Tapi, tiga lembar kertas yang saya sodorkan diambil kembali oleh Ari, si sipir, sambil berkata, “Kowe raup sik!” artinya semacam “Mimpi lu bisa kirim surat seenaknya?” Ada napi yang tak sabar ingin menghirup udara bebas, tapi ada juga yang takut bebas karena keluarga korban masih menunggu atau takut dipenjara lagi karena tak ada pekerjaan baik-baik di luar sana.

Di bawah pohon ini, para napi dan sipir saling bertukar banyolan. Salah seorang napi minta difoto bersama sipir. Si sipir bergaya memiting leher napi. Ketika melihat foto, si sipir berkomentar, “Kayak kakang-adhi yo?” Keakraban mereka mengingatkan saya pada cerita seorang pensiunan sipir, Sutrisno, yang saya temui sehari sebelumnya. Meski mengaku galak semasa bertugas, rumah Sutrisno kini sering didatangi para mantan napi yang dulu telah dididiknya. Sutrisno dianggap sebagai bapak di penjara yang keras.

Siangnya, saya mengobrol dengan Dupon, 47 tahun, mantan napi sudah bebas sejak Mei lalu, namun memilih tinggal di Nusakambangan ketimbang pulang ke Pangandaran. Setelah sama sekali tak saling menelepon atau berkirim surat selama 6 tahun, istrinya datang dari Tangerang untuk hidup bertua-tua bersama Dupon dalam gubuk 3x4 meter mereka.

Kristiono dan Andi adalah dua sipir terakhir yang saya ajak bicara hari itu. Akhirnya, saya meninggalkan Nusakambangan dengan naik compreng sendirian pukul 16.30. Waktu pemberangkatan diatur demikian cermat agar saya tidak berpapasan dengan Santoso, atasan Ari.

Meski sempat kecewa karena tak bisa menembus pintu penjara, sore hari itu saya pulang dengan cukup senang karena membawa sekantung cerita dan pengalaman. (vir)

Berkenalan dengan Wonogiri

Perjalanan dari Yogyakarta menuju ke Wonogiri memakan waktu yang cukup lama. Dengan Honda Supra X125, waktu tempuh kami dua jam. Kami berangkat lewat Klaten-Wedi-Bayat-Weru-Manyaran-Wuryantoro. Sedangkan pulangnya, kami lewat Sukoharjo-Solo-Kartasura-Klaten.

Pertama kali datang (21/8), tempat yang kami tuju adalah Waduk Gajah Mungkur. Kebetulan sekali di sana ada pembukaan Gantolle Championship bertema “Wonogiri Fly”. Secara khusus, acara ini mengundang ketertarikan saya karena saya belum pernah melihat gantolle secara dekat. Tema yang diusung juga memberi angin segar bagi saya untuk “flying” dengan Supra X125 mengelilingi Wonogiri. Sayang sekali karena luasnya daerah Wonogiri (1.822.37 km persegi yang terbagi menjadi 25 kecamatan) dan waktu yang hanya tiga hari, baru dua kecamatan yang saya jelajahi, yaitu kecamatan Wonogiri dan Selogiri.

Setelah kami mengikuti brieving penerbangan gantolle pertama di gunung Joglo, kami berpisah. Rosi meliput di sekitar Waduk Gajah Mungkur dan saya meliput di dua kecamatan.

Sore hingga malam hari, saya meliput pertambangan batu karst dan andesit di Desa Sendang, Kecamatan Wonogiri. Di sana ada sepuluh daerah pertambangan. Empat pertambangan di lereng-lereng perbukit bagian dalam dan lainnya di lereng-lereng perbukitan bagian luar dekat jalan raya Wuryantoro-Wonogiri. Hasil penambangan itu berupa pawon, giring, anglo, dan batu belah.

Pertemuan saya dengan Warimin dan Sutrisno memberikan cakrawala pengetahuan dan pengalaman baru. Saya belajar teknik menambang dan membentuk batu. Dari kisah hidup mereka saya mendapatkan filosofi batu, pawon dan giring. Dari batu saya belajar kerendahan hati, kekokohan, dan proses pembentukan batu. Dari pawon saya belajar kegunaan dan kerelaan untuk berkorban. Sedangkan dari giring, saya belajar keberanian dan ketulusan untuk menjadi penopang hidup bagi keluarga.

Malamnya, saya menginap di Losmen Sidodadi. Tidak tahu kenapa saya merasa risih dan tidak krasan tinggal di hotel itu. Sudah kamarnya no. 13 masih ditambah lantunan tembang “...” dari kamar sebelah. Tanya punya tanya, ternyata hampir 80 persen kamar selalu dipakai pasangan untuk begituan. Hitung-hitung punya pengalaman menginap di hotel murah meriah sekaligus “full musik”. Malam-malam berikutnya, saya menginap di Hotel Melati Wisma Giri, tempat para sales biasa menginap.

Hari kedua (22/8) saya meliput pertambangan emas di Desa Jendi, Kecamatan Selogiri. Pengalaman menyusuri urat-urat emas dan ikut menambang emas di tempat itu merupakan pengalaman berharga bagi saya. Dalam penyusuran urat-urat emas, saya mendaki bukit Tuk Tumpu. Di sana saya menemukan ada lima tambang yang masih beroperasi sejak tahun 1995 dan banyak tambang yang sudah tidak ditambang lagi. Para penambang itu menambang emas dengan dua cara, yaitu dengan menerowong dan membuat sumur. Tambang-tambang yang sudah tidak dipakai lagi sebagian besar sudah ditimbun dan beberapa masih dibiarkan saja.

Saya turut menambang emas di pertambangan milik Ibu Repiyati. Saya masuk ke tambang berbentuk sumur sedalam 30 meter. Di dasar tambang ada sungai kecil yang berfungsi untuk mendulang contoh bebatuan apakah mengandung emas atau tidak. Dalam tambang itu terdapat terowongan lebih kurang sepanjang lima meter. Katanya, terowongan ini dibuat mengikuti urat emas.

Setelah mendulang dan memecah bebatuan di dalam tambang, saya kembali ke atas dan menarik satu ember berisi batuan tersebut dibantu Mas Dwi, putra Ibu Repiyati. Batu-batu itu kemudian saya remukan. Remukan itu saya masukan ke dalam sebuah mesin gelundung yang berfungsi untuk menggiling, menghaluskan, dan memisahkan emas dari unsur-unsur lainnya. Untuk memisahkan emas, saya memasukkan air raksa ke dalam mesin gelundung. 15 menit kemudian, saya pisahkan bijih emas yang sudah “terjaring” dalam air raksa itu dari unsur-unsur lain. Dengan kain untuk membuat payung, bijih emas yang sudah terjaring air raksa itu saya peras. Tidak lama kemudian, dalam kain payung itu bijih emas berbalut perak berbentuk bundaran kecil saya dapatkan. Berat bundaran itu 600 miligram. Agar emas murni bisa dihasilkan, saya membakar bijih emas berbalut perak itu menjadi emas dengan berat 300 miligram dengan alat pembakar tradisional.

Hari ketiga (23/8) saya mencari data tambahan di Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan. Sampai di sana saya diminta menemui humas kabupaten dulu. Bahkan ketika saya janjian dengan Kepala Dinas Pertanian, untuk datang ke sana esok harinya, Kepala Dinas meminta saya agar humas kabupaten ikut menemani wawancara.

Dari Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan, saya meliput kekeringan di Kecamatan Selogiri. Memasuki masa tanam ketiga, yakni tanam palawija, beberapa petani di sana justru menanam padi. Mereka memanfaatkan air dari bocoran Waduk Krisak. Sedangkan sebagian besar petani lain membiarkan lahannya bero.

Hari keempat (24/8) bersama Rosi, saya mencari data di Kantor Humas Kabupaten dan Dinas Pertanian. Banyak informasi yang kami dapat yang sebenarnya bisa kami jadikan bahan liputan, seperti wisata spiritual, program intensifikasi lahan pertanian (penanaman salak pondoh, palawija di masa tanam ketiga, dan melon) dan pekarangan (penanaman pohon pisang dan angur untuk peningkatan gizi di masa kekeringan, penanaman pohon strawbery untuk penunjang wisata).

Belajar dari pengalaman Mas Luwi, saya juga berwisata kuliner. Bakso Titoti, Bakso Raksasa, Nasi dan Bakmi Goreng Pak Bagong, Sate Kambing Wonokerto, saya cicipi. Ketika makan di Warung Bakso Raksasa saya kecewa. Awalnya saya penasaran seberapa besar bakso yang akan disajikan. Ternyata ketika sudah tesaji, baksonya kecil-kecil. Setelah saya tanyakan ke penjualnya, bakso raksasa hanyalah nama saja bagi warung itu. (mo)

Semangat dari Klaten

Semangat dari Klaten

Ada beberapa hal saya rasakan selama tiga hari liputan luar kota ke Kabupaten Klaten, 21-23 Agustus. Kesederhanaan, ketulusan, dan semangat juang. Hal-hal itu saya dapat dari interaksi dengan penduduk di beberapa sentra industri di Klaten.

Sebelum berangkat, saya membayangkan penduduk yang sudah mulai berproduksi di sentra-sentra industri kecil. Apakah mereka masih mengeluhkan lambatnya bantuan pemerintah, bekerja seadanya, atau lebih antusias berproduksi. Saya ingin membagikan semangat mereka melalui tulisan yang saya buat nantinya.

Semangat juang

Senin (21/8) saya dan Anton mencari data bagaimana industri kecil di Kabupaten Klaten pada umumnya. Kami mendatangi sentra industri gerabah di Pagerjurang, Wedi, sentra industri batik di Jarum, Bayat, dan sentra industri genteng di Nambangan, Sukoharjo. Kami mendatangi pula sentra pengecoran logam di Ceper (22/8) dan sentra industri konveksi di Wedi (24/8).

Selama perjalanan ke sentra-sentra industri tersebut, ada beberapa perbincangan dengan narasumber yang berkesan. Satu yang paling berkesan adalah perbincangan dengan Hardi Trimanto (60), pemilik Merry Batik. Ia memproduksi berbagai kerajinan dari batik kayu, seperti topeng, sandal, hiasan dinding, dan berbagai peralatan rumah tangga.

Di usianya yang sudah tidak muda, Hardi masih memiliki semangat juang tinggi. Ia tidak putus asa dengan gempa yang menghancurkan sebagian rumah dan alat produksinya. Meski beberapa pekerjanya belum bisa bekerja karena sibuk membenahi rumah mereka, sesepuh Paguyuban para perajin batik Cipta Wening ini tetap berkarya memenuhi pesanan yang terus mengalir. Ia bahkan berkata, “Saya kasihan dengan para perajin yang sampai sekarang belum bekerja juga. Mau nunggu apa ? Kita hidup dari kerajinan yang kita buat, semakin berlarut-larut dalam kesedihan semakin lama kita hidup dalam kekurangan. Tidak bekerja ya berarti tidak ada pemasukan, hidup akan semakin sulit.”

Semangat juga ditunjukkan oleh perajin genteng Yanto Suwinto (50). Secara ekonomis, dari 1000 genteng yang dihasilkannya ia memperoleh Rp 40.000-50.000. Ia sempat dua bulan berhenti berproduksi karena tungku pembakaran hancur dan tenaga kerjanya sibuk dengan rumah masing-masing. Ia mencari pinjaman modal sendiri untuk meneruskan usahanya meski belum mencukupi untuk membeli tungku yang baru. Padahal, permintaan genteng saat ini naik karena maraknya rekonstruksi rumah.

Sederhana dan tulus

Dari beberapa daerah yang saya datangi, saya berada di Dusun Pagerjurang, Melikan, Wedi secara lebih intensif. Selama satu hari lebih di sana, kesederhanaan dan ketulusan penduduk terekam dalam ingatan.

Sebagian rumah perajin masih belantaikan tanah dan berdinding bambu. Di dalamnya, alat pembuat gerabah bersanding dengan alat-alat masak. Dari rumah yang sederhana ini, gerabah dan keramik yang sebagian sudah diekspor itu dihasilkan.

Selama semalam tidur di rumah Mbah Harjo (75), saya merasakan kesederhanaan dan ketulusan seorang perajin tua. Rabu (23/8) malam saya tidur beralaskan tikar di ruang tamu. TV 19 inchi baru yang tidak pernah dihidupkan, hadiah dari Chitaru Kawasaki (pendiri Laboratorium Pusat Pelestarian Budaya dan Pengembangan Keramik Tanah Miring di Pagerjurang), ada di kiri saya. Berpuluh-puluh teko yang masih basah di kanan saya. Sampai lewat jam sepuluh malam kami berbincang-bincang.

Dalam kesendiriannya di rumah tua itu, Mbah Harjo selalu mengingat anak, cucu, dan tetangga-tetangganya yang sama-sama perajin. Meski tidak dapat memenuhi permintaan pasar akan berbagai variasi gerabah berukuran besar, Mbah Harjo tetap setia membuat bentuk gerabah yang ia mampu.

Sing penting manteping ati. Yen ati landhep, apa wae bisa digawe,” begitu katanya. Ia menekankan tanpa niat yang kuat dan tulus, sesederhana apapun bentuk gerabah tidak akan jadi.

Lepas dari benar tidaknya prinsip Mbah Harjo ini, saya sudah merasakan bahwa membuat gerabah tidak mudah. Ketekunan dan kesabaran memang menjadi kunci hasil yang sempurna. Meskipun sudah berkonsentrasi penuh, menguatkan niat, dalam sepuluh menit tanah liat di tangan saya tetap tidak berubah bentuk…. (jeng)

Banjir Kebetulan di Magelang

Begitu tahu penugasan luar kota adalah ke Magelang, saya sedikit terkejut. Betapa tidak? Hari Jumat (18/8) pagi saya berpikir ingin pergi kota yang sejuk. Ternyata kesampaian.

Saat Titi bertanya siapa pasangan liputannya dan dijawab Mbak Agnes bahwa orang itu “nggak banget”, saya langsung berpikir kalau itu adalah saya. Benar saja, lima menit kemudian saya melihat nama kami berdua terpampang di kertas penugasan.

Senin (21/8) kami berdua pun mulai berpetualang, berbekal peta kami nekat merambah rimba Magelang. Sesampainya di Srumbung, rangkaian kebetulan itupun dimulai. Tiba-tiba saja kami naik angkot yang bahkan saat kami ditanya tujuan oleh supirnya, kami malah tergagap-gagap.

Akhirnya kami terlantar di Pasar Ngepos. Kami pun berniat menuju lokasi dengan berjalan kaki sembari melihat bibit sayur berusia 4-5 hari yang imut-imut dijual di pasar. Mendadak, datang sebuah truk pasir raksasa dengan kepulan debu yang serba ke mana-mana. Supir truk yang baik itu mengizinkan kami menumpang. Saat itu kami menyadari pentingnya arti outbond di Cisarua, Juli lalu.

Seperti kontestan acara Fear Factor, itulah yang kami rasakan saat terdampar di lautan batu dan kerikil di Kali Putih. Bagi saya, yang saya lihat hanya tiga: pasir, batu, dan Titi. Sejak di Kali Putih, sebenarnya saya sudah merasakan takut akan nuansa mistis yang bisa kami temui nanti.

Sore harinya, perasaan saya terwujud saat kami menginap di hotel yang berkesan angker. Lobi hotel yang gelap, ukiran-ukiran kuno, kamar bak gudang tua, dan lirikan mata lukisan penari bali sudah cukup membuat kami saling berjalan merapat. Saat itu kami mengutuk habis-habisan aturan hotel yang melarang laki-laki dan wanita non muhkrim bersama dalam satu kamar. Kami ketakutan, nih.

Malamnya, sambil mencari makan dan masker bengkoang untuk mendinginkan wajah yang tampak half-done, tiba-tiba kami melihat banyak truk lewat. Mereka membawa pasir basah, kontras dengan pasir Kali Putih yang kering kerontang. Begitu melihat ada truk nganggur, kami langsung mendatanginya dan bertemu dengan si supir. Ternyata pasir itu berasal dari Sungai Senowo. Sungai yang bahkan tidak masuk dalam daftar tujuan kami esok.

Selasa (22/8) kami bangun pagi-pagi, lalu berjalan ke perempatan sambil berharap ada truk lewat untuk ditumpangi. Ternyata kami malah bertemu kembali dengan supir semalam, namanya Triadi. Ada banyak supir truk pasir, tapi kenapa harus ketemu orang yang sama? Karena sudah saling kenal sebelumnya, pembicaraan pun menjadi lancar.

Memang tidak ada lagi kebetulan selama siang harinya, karena kami harus menghabiskan waktu dengan verifikasi data ke Pemda Kabupaten Magelang, yang jelas-jelas disengaja. Tapi setelah itu, sang kebetulan datang saat ada hotel yang mau menempatkan kami dalam satu kamar. Setelah check in, kami pergi mengunjungi Candi Lumbung, Candi Pendem, dan Candi Asu.

Sesampainya di Candi Lumbung, kami kebingungan tidak tahu caranya menyeberangi sungai Pabelan karena jembatannya runtuh. Secara tak terduga, muncul ibu tua, Kamiyem, yang menawarkan diri mengantar kami ke seberang. Kami mencoba bersikap ramah dengan mengajaknya bicara. Tapi Kamiyem hanya bisa berbahasa jawa, sedangkan kami? Bahasa kalbu. Percakapan itu pun kacau-balau.

Setelah puas melihat Candi Asu dan Candi Pendem, lagi-lagi kami bertemu Kamiyem yang sepertinya tadi sudah berpamitan pulang ke rumahnya. Kami pergi ke rumah Pak Narto, penjaga candi diantar Kamiyem. Benar-benar di luar rencana, karena saya pikir kami akan pergi ke kepala dusun.

Begitu banyak informasi yang diceritakan Pak Narto, hingga tak terasa malam pun tiba dan kami sadar kalau besar peluang harus berjalan kaki hingga entah di mana, mungkin sampai ke Muntilan.

Malam itu, setelah melewati sebuah jembatan yang tampak seram, saya tersandung dan mengucap “Astagfirullah aladzim” (ucapan dalam bahasa Hindunya lupa). Tiba-tiba saja, aliran air pancuran di sisi kiri kami berhenti begitu saja, senter Titi pun meredup.

“Bapa kami yang di surga...” ucap Titi spontan. Kami pun tetap berjalan...hanya saja lebih cepat.

Beruntung kami bertemu dengan seorang warga yang hendak mengantar ibunya yang telah berusia 120 tahun berobat ke Muntilan. Akhirnya kami bisa pulang dengan naik angkot sewaan. Saat itu, kami tahu kalau pancuran tadi mengalir dari kompleks pemakaman.

Rabu (23/8) kami senang karena akhirnya melihat isi dari Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), yang kami justru peroleh dari seorang kepala divisi perusahaan eksploitasi asal Yogya. Setelah itu, kami kembali ke kompleks tiga candi dan saling terpisah. Tepat saat saya mengunjungi Pak Narto, ia bersama anaknya akan membersihkan candi, jadi saya bisa mengamati keseharian beliau.

Kembali, kami berada di rumah Pak Narto hingga malam. Saat lapar, penyakit yang paling sering mendera kami di Magelang, Pak Narto menawarkan makan malam yang sangat enak. Menu desa a la kadarnya, dengan beras hasil sawah sendiri, sayur buncis dipetik dari kebun, dan telur dadar dari ternak entok milik Pak Narto, terasa nikmat di mulut.

Kami pun memutuskan untuk kembali ke Yogya malam itu juga. Ternyata tidak ada bus dari Semarang setelah jam sembilan malam, kalau ada itu pun harus menunggu lama sekali. Bermodal nekat karena terbiasa menumpang truk, kami pun mencoba memberhentikan beberapa kendaraan. Di saat tak terduga, ada sebuah mobil berplat AB yang hendak membeli buah di Pasar Giwangan. Malam itu, kami pulang dengan menumpang mobil itu sembari terkantuk-kantuk. (robin)

Tiga Hari di Klaten

Liputan di Klaten dimulai hari Senin (21/8) dengan tujuan awal screening di beberapa wilayah, mulai dari Wedi, Bayat, dan Cawas. Lebih kurang 1,5 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Desa Melikan, Kecamatan Wedi. Orang pertama yang kami temui ialah Nurdi Agus (39), Kepala Desa. Ia banyak menonjolkan keunggulan desanya dan kegiatan kesenian yang berlangsung disana. Setiap menceritakan keberhasilan Desa Melikan, tak lupa ia menonjolkan diri sebagai sang penggagas.

Setelah mendapat informasi awal, saya dan Rere mulai menelusuri Desa Pagerjurang untuk menanyai perajin. Tapi, sebelumnya, kami belajar untuk bergumul dengan gumpalan tanah liat. Bu Ros, perajin gerabah, mengarahkan dua orang perajin dadakan yang nyasar di Pagerjurang. Bukannya menciptakan master piece gerabah, hasilnya justru tangan kotor dan gumpalan tanah liat tak berbentuk.

Pekerjaan yang terlihat mudah dan sederhana ternyata sangat sulit dilakukan. Bu Ros Cuma terkekeh dan memberikan ceramah singkat tentang pembuatan gerabah. “Kalau buat gerabah, yang penting mata hati. Kalau membuat gerabah dengan pikiran kacau, hasilnya pasti jelek,” katanya.

Setelah itu, kami mencoba mencari Profesor Chitaru Kawasaki, yang sedang berada di Melikan. Kami berhasil menemuinya di Laboratorium Pusat Pelestarian Budaya dan Pengembangan Keramik Putaran Miring. Ia menyanggupi menerima kami pada hari Kamis pagi pukul 08.30 WIB.

Setelah itu, kami menjelajahi beberapa sentra kerajinan, seperti batik di Jarum dan genteng di Nambangan. Kami sempat tersasar sampai Sukoharjo saat mencari Nambangan, Cawas. Setelah mewawancarai perajin genteng, kami makan soto di Pasar Cawas. Saat membayar, kami terkejut dengan nominal yang disebut oleh si penjual, yaitu Rp 7 ribu untuk dua orang. Padahal, harga ini termasuk dua porsi soto, dua gelas jeruk hangat, kerupuk, dan dua bakwan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB saat kami menginjakkan kaki di Kota Klaten dan memutuskan untuk menginap di Perdana Raya, penginapan pertama yang kami temui. Penginapan ini cukup terawat, kamar yang disewakan pun bersih. Saya tidak tahu alasannya mengapa saya sulit tidur walaupun mata terasa sudah lelah dan mengantuk. Suasana kamar tersebut membuat perasaan saya tidak tenang dan merinding. Akhirnya, malam “pertama” di penginapan tersebut saya lalui dengan harapan pagi segera tiba.

Hari kedua (22/8) kami habiskan dengan mendatangi sumber-sumber dari pemerintah, seperti Kepala Disperindag dan Koperasi Kabupaten Klaten, Kepala Sub Dinas Penanaman Modal, dan Badan Pusat Statistik. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo untuk menemui Edi Wahyono, pakar keramik dan pengamat ekonomi, Mulyanto. Kami tiba kembali di penginapan sekitar pukul 20.00 WIB.

Keesokan harinya, pukul 07.15 WIB kami check out dari penginapan dan berangkat menuju Desa Melikan untuk menemui Profesor Kawasaki. Ternyata kami tiba lebih awal, pukul 08.00 WIB. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mencari dan memotret spanduk yang berisi ajakan agar masyarakat bangkit, seperti diberitahukan Mas Max Margono sehari sebelumnya.

Di Laboratorium Pelestarian Putaran Miring, Profesor Kawasaki dan rekannya sedang mempersiapkan pembakaran keramik. Karena suara di laboratorium yang sedang direnovasi tersebut sangat bising, maka obrolan dilangsungkan di rumah kontrakannya. Obrolan berlangsung cukup santai, walau harus didampingi oleh penerjemah karena Profesor Kawasaki tidak bisa berbahasa Indonesia dan Inggris.

Siangnya, kami mendatangi makam Sunan Padang Aran untuk mencari informasi mengenai Gentong Sinogo yang dikabarkan merupakan cikal bakal gerabah di Wedi dan Bayat. Karena lelah, akhirnya kami beristirahat selama 30 menit di kompleks makam salah seorang keturunan Sunan Padang Aran. Setelah itu, kami berkeliling mencari informasi tambahan dari pemilik gerai gerabah dan perajin gerabah. Malamnya saya menginap di rumah seorang perajin, Triono di Dusun Pagerjurang. Rumah mereka yang terbuat dari papan cukup sederhana, namun kehangatan terpancar dari keramahan dan ketulusan mereka.

Malam itu saya habiskan dengan bernicang sambil melihat mereka membuat poci pesanan. saya juga diajak untuk melihat proses pembakaran gerabah yang sudah memasuki tahap penghitaman. Setelah diajak makan malam, tanpa sadar sekitar pukul 22.30 WIB saya tertidur di ruang tamu, ditemani oleh putra kedua Pak Triono, Gunanto, hingga terbangun karena suara orang menyapu halaman pukul 05.30 WIB. Saya lantas mandi di sumur tetangga Pak Triono lantaran mereka tidak memiliki kamar mandi.

Pukul 09.00 WIB kami meninggalkan Desa Melikan dan pulang ke Yogyakarta. Sebelumnya, kami kembali ke Klaten untuk mengambil rangkuman potensi Kabupaten Klaten yang disiapkan oleh Sub Dinas Penanaman Modal. Setelah itu kami pulang ke Yogyakarta. Pukul 11.30 WIB, kami menemui Mudrajad Kuncoro, pengamat ekonomi dari UGM. (lee)

Yogyakarta, 26 Agustus 2006

Monday, September 11, 2006

tembang anak gowl masa kenehh

intro: tet! tenonenonenonenonet! tenonenonenonenonet!

Bang SMS siapa ini bang
Bang pesannya pake sayang sayang
Bang nampaknya dari pacar abang
Bang hati ini mulai tak tenang

Bang tolong jawab tanyaku ke Abang
Bang nanti HP ini ku buang
Bang ayo dong jujur saja abang
Bang, kalau masih sayang

Kalau Bersilat lidah, memang Abang rajanya
Tlah nyata Abang salah tetap abang berkilah

Orang salah kirimlah
Orang iseng-iseng lah
Orang salah kirimlah
Orang iseng-iseng lah

Mulai dari sekarang HP akuyang pegang

Bang SMS siapa ini bang
Bang pesannya pake sayang sayang
Bang nampaknya dari pacar abang
Bang hati ini mulai tak tenang

Bang tolong jawab tanyaku ke Abang
Bang nanti HP ini ku buang
Bang ayo dong jujur saja abang
Bang, kalau masih sayang

Kalau Bersilat lidah, memang Abang rajanya
Tlah nyata Abang salah tetap abang berkilah

Orang salah kirimlah
Orang iseng-iseng lah
Orang salah kirimlah
Orang iseng-iseng lah

Bang SMS siapa ini bang
Bang pesannya pake sayang sayang
Bang nampaknya dari pacar abang
Bang hati ini mulai tak tenang

Yes, Shoot Me! Quick!


Would somebody come and just kill me?
Huaaaa....

Huge n kiss,

they-called-me-Robin

posting pertama

tes-tes
dikopi
ganti?

11.9.06