Wednesday, September 13, 2006

Gantole, Nila Bakar, dan Hotel Melati

Tiga hari di Wonogiri. Ada Kejuaraan Nasional Gantole 2006. Ada ikan nila bakar dan goreng di mana-mana. Ada juga hotel-hotel melati yang pendapatannya diperoleh dari penyewaan kamar “jam-jaman”. Tiga hal itu yang meninggalkan kesan tersendiri saat saya di Wonogiri untuk liputan luar kota selama tiga hari (21-24 Agustus).

Selain tiga itu, dari kabupaten yang luasnya 1.822 kilometer persegi saya membawa pulang dua tulisan yang sulit sekali diselesaikan, kacang mete dan cemilan lainnya, belang akibat sinar mata hari di kulit muka dan kaki, serta rasa sebal karena pelecehan seksual.

Saya pergi ke Wonogiri naik motor bersama Hendry, rekan tandem saya. Berkat kenekatan dan gaya mengendarai motornya yang sering mencapai 100 km/jam, jarak Yogyakarta-Wonogiri dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Kami tiba di kawasan kering yang terkenal dengan gapleknya itu sekitar pukul 10.30 WIB.

Tujuan pertama kami adalah mencari penginapan untuk meletakan barang-barang bawaan agar dapat bekerja lebih bebas. Pilihan saya jatuh pada Hotel Melati Tiga Sendang Asri yang menetapkan tarif Rp 85.000 per malam. Itu harga kamar termurah. Bila melihat fasilitas yang hanya menyediakan tempat tidur, kipas angin, dan kamar mandi, harga itu menurut saya mahal. Tapi, dengan pertimbangan jaraknya yang hanya sekitar 100 meter dari lokasi liputan saya: Taman Wisata Waduk Gajah Mungkur, kamar itu saya ambil.

Setelah itu kami langsung masuk taman wisata. Saat itu hari libur. Pengunjung ramai. Ternyata di sana sedang dilangsungkan pembukaan Kejurnas Gantole. Melihat itu, saya langsung mendapat fokus tulisan feature: wisata dirgantara. Dari saya kami keliling Kota Wonogiri, mencari lokasi pemkab dan dinas-dinas yang terkait dengan rencana tulisan kami.

Sehabis makan siang di warung ikan nila bakar, kami memisahkan diri. Ikan bakarnya gurih ditambah sambal terasi yang segar dan menambah selera makan. Sepanjang jalan raya Sendang-Kota memang banyak restoran ikan nila goreng/bakar yang menggoda, tapi kami memilih makan di warung sederhana karena dekat dengan penginapan dan ada tambang batu di sebelahnya, fokus tulisan Hendry. Hari kedua akhirnya saya bisa makan di restoran ikan bakar, ditraktir Mas Max yang datang bersama Mas Cahyo.

Karena Hendry sudah kembali ke Kota, menemui teman pastornya, sore itu saya jalan-jalan sendiri. Saat itulah terjadi hal yang hingga kini membuat saya sebal.

Saat sedang berjalan sendirian keliling waduk dengan tujuan melihat-lihat keadaan, saya melewati dua orang laki-laki yang duduk di dekat motor mereka. Mereka memanggil saya, "Mbak!" Saya menoleh dan memasang senyum ramah. Saat itu saya baru melihat muka mereka dengan jelas. Mata mereka merah, muka kusut, saya menduga mereka mabuk.

Saya takut dan langsung berjalan dengan kecepatan “gigi empat”.

Ternyata mereka mengikuti saya dan mengajak naik motornya. Mereka mengatakan akan mengantar saya ke manapun saya mau. Saya langsung pasang muka judes. mereka tetap membuntuti dan terus berbicara dalam bahasa Jawa tidak saya mengerti. Bukan karena saya tidak bisa bahasa Jawa, tapi karena mereka berbicara tidak jelas, seperti orang mabuk.

Rasa takut semakin memuncak. Akhirnya saya masuk ke warung, membeli teh botol dan bercerita pada bapak penjaga warung, “Ada dua laki-laki aneh mengikuti saya dari tadi.” Si Bapak hanya bengong. Mungkin dia bingung. Saat dua orang mabuk itu sampai di warung, mereka marah-marah pada si Bapak. Si Bapak tetap diam saja.

Sepuluh menit saya di sana. Dua orang itu akhirnya pergi juga. Baru setelah itu saya bisa berbincang-bincang dengan Bapak Warung. Saat saya bilang saya akan naik bis saja untuk kembali ke hotel, dia bilang “Dekat kok, jalan saja. Mereka memang begitu. Tidak apa-apa kok.” Saya kembali berjalan-jalan, pulang naik bis.

Daerah di situ emang "seram". Saya melihat “mobil goyang” berkaca bening, live, jam setengah lima sore di parkiran taman wisata. Padahal, di sana masih ada orang. Tak lebih seratus meter dari situ masih ada orang yang berladang, beres-beres warung, atau orang seperti saya yang salah jalan dan dapat melihat mereka dari jarak tiga meter.

Kamudian malamnya, saat saya ngobrol dengan Mas Andi, penjaga hotel, di bilang, "Jangan di luar, Mbak. Nanti kalau ada yang nawar, bagaimana? Daripada tersinggung, lebih baik di dalam kamar saja."

Banyak lagi pelecehan yang saya alami. Mungkin bagi kebanyakan perempuan, teriakan, panggilan, dan tawa laki-laki saat kita lewat itu pujian, tapi bukan bagi saya. Entah kenapa di Wonogiri saya merasa semakin sering dilecehkan. Kalau itu terjadi di Jakarta akan mudah. Saya bisa membalas dengan kata-kata umpatan dan kemarahan saya dapat tersalur. Di sana saya sama sekali tak bisa berkutik. Hanya bisa senyum atau meringis tak jelas, karena kalau saya mengumpat akan kacau. Bisa-bisa nanti saya langsung diusir dari sana, atau disekap, diperkosa, dan semua bayangan seram lain yang ada di kepala. (bar)

1 Comments:

Blogger Nehemia La'lang Katik Blog's said...

Saya ikut mengelola Hotel Sendang Asri, saya turut menyayangkan peristiwa yang dialami oleh mbak.

Kalau harga 85.000 itu tidak benar mbak. Untuk kamar standar yang fasilitasnya kamar mandi, kipas, dan 2 kasur sampai bulan juli 2013 kami hargai 65000 mbak.

Saya yakin ini adalah ulah karyawan yang menaikkan harga. Kami telah memecat pegawai kami itu di akhir tahun 2012. Karena terbukti dan tertangkap basah berkomplot dengan karyawan lain untuk menaikkan harga kamar.

Saya sendiri baru membaca blog mbak dan saya langsung berkomentar.

Mohon maaf karena selama di Wonogiri mbak mendapatkan harga kamar yang telah dirubah oleh karena kecurangan karyawan.

9:28 AM  

Post a Comment

<< Home